HARIANSULSEL.COM, Makassar – Berkaitan dengan bentrok antara mahasiswa dengan pihak kepolisian saat demonstrasi memperingati Hari Sumpah Pemuda di depan kantor DPRD Makassar, tanggal 28 Oktober kemarin, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan, bahwa; Pertama, Secara prosudural, aksi demonnstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Makassar, telah sesuai aturan. Mereka sebelum aksi telah menyampaikan kepada pihak keamanan, bahwa mereka akan melakukan aksi damai, dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober.
Kedua, Aksi tersebut mempertegas, bahwa masih ada “segelintir” dari komunitas masyarakat yang akan menjadikan diri mereka sebagai kelompok yang setia membangun idealisme kemahasiswaan, sebagai bagian dari agen perubahan, sosial kontrol dan gerakan moral, untuk mengawal dan mengawasi arah dan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara, di saat sebagian besar mahasiswa sibuk dengan tujuan pragmatis dan praktis mereka.
Ketiga, Bahwa aksi tersebut menimbulkan “gangguan” bagi pengguna jalan, dimana aksi itu dilakukan, itu tidak ditampik, tetapi adalah sebuah realitas bahwa hanya cara itu “perhatian” para elit pengambil kebijakan bisa terketuk. Mereka kadang abai, jika cara dialog, audence, penyampaian pendapat dilakukan oleh komponen masyarakat manapun. Mereka hanya siap menerima aspirasi, jika disampaikan dengan “nada tekanan”. Itulah sebabnya, pilhan aksi demonstrasi hampir selalu menjadi alternatif.
Keempat, Dari aspek gerakan, aksi demonstrasi memiliki makna tersendiri bagi mahasiswa (kaum muda terpelajar) untuk mengasah pandangan, sikap, pemihakan serta tanggungjawab mereka pada pentingnya menjaga cita-cita hidup berbangsa, bernegara, kepedulian pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, pemihakan pada prinsip keadilan dan nilai kemanusiaan.
Demonstrasi, juga bisa mempertajam jiwa aktivis, jiwa pergerakan dan nilai-nilai patriotisme mahasiswa, yang diakui atau tidak telah tergerus habis oleh sistem perkuliahan, dan oleh kebijakan kampus yang cenderung pragmatisme dan praktis.
Kelima, Bahwa pada aksi demonstrasi yang dilakukan tersebut, ada hal yang berjalan di luar kontrol, ada sesuatu yang belum terumuskan secara baik, ada keterputusan proses, tentu kadang tidak bisa dihindari, tetapi ini akan menjadi catatan bagi siapapun aktivis mahasiswa, dari organisasi atau lembaga manapun, setiap saat mesti melakukan evaluasi, melakukan perbaikan, melakukan kritik metodologi dan subtansi gerakan, agar kedepan bisa lebih baik.
Berangkat dari catatan di atas, maka menyikapi aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa, yang secara administratif telah memenuhi syarat prosudural, mestinya dilihat sebagai sebuah bentuk pengejawantahan
