Jawaban saya sesungguhnya sederhana saja. Pertama, semua orang pasti punya pikiran masing-masing untuk menilai. Dan yang terpenting semua orang punya nurani untuk membedakan mana yang baik dan sebaliknya. Mana yang benar atau sebaliknya.
Karenanya seorang Ustadz, sebagai manusia, tidak benar dilarang mengekspresikan pertimbangan akal dan nuraninya. Saya memposisikan diri sebagai orang yang punya hak yang sama.
Tapi yang terpenting saya kira, keputusan saya mendukung salah seorang kandidat tidak lepas dari pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah pertimbangan tanggung jawab iman. Bahwa keputusan saya itu pasti akan menjadi bagian dari tanggung jawab saya di hadapan Allah swt.
Pertimbangan keagamaan juga tentunya tidak lepas dari tanggung jawab saya sebagai seorang da’i. Dakwah bagi saya adalah darah daging hidup saya. Karenanya setiap peluang itu akan saya ambil demi kejayaan dakwah itu sendiri.
Singkatnya keputusan saya mendukung pak Agus dan pak Tanribali itu terbangun oleh hati nurani, dituntun oleh pemikiran yang jelas, dan juga didorong oleh darah daging tanggung jawab dakwah dalam diri saya.
Karenanya mempertanyakan dukungan dan posisi saya sebabai seorang Ustadz harusnya tidak perlu. Karena jika saya memakai bahasa modern, itu adalah bagian dari HAM saya.
Saya justeru khawatir tendensi mempertanyakan posisi Ustadz dalam politik adalah bagian dari propaganda “sekularisasi”. Seolah politik itu hanya urusan orang-orang yang tidak tahu, atau tidak peduli dengan agama.
Tentunya yang perlu diingatkan terus menerus adalah bahwa keputusan itu adalah manusiawi. Karenanya seorang Ustadz harus jeli dan istiqamah dengan nilai-nilai imannya. Sehingga tidak mudah tergelincir atau terjatuh dalam pelukan kepentingan. (Bersambung)
Muhammad Shamsi Ali adalah putra asli Kajang, seorang Imam dan aktifis dakwah di Amerika lebih 21 tahun.