Opini: Titik Balik

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Bepergian di tengah pemberitaan tentang penyebaran virus corona menjadi sangat menyiksa. Terkhusus lagi buat yang memiliki semacam paranoid virus.

Saya mencontohkan diri saya yang ‘terpaksa’ melakukan perjalanan udara, mengalami siksaan yang luar biasa. Tak terhitung berapa kali saya cuci tangan dan entah berapa kali saya semprotkan antiseptic ke kedua tangan saya. Entah saya adalah paranoid, atau berusaha mempraktekkan saran orang untuk tidak terjangkiti virus.

Mari menjelaskan kerumitan dengan pemahaman bahwa virus ini berpindah dari tangan atau dari benda yang disentuh. Kita juga mendengar bahwa virus ini juga bisa bertahan beberapa jam pada benda tertentu.

Saat memasuki bandara, saya diberikan boarding pass dari orang yang membantu mengurusnya di bandara. Boarding pass ini sudah dipegang beberapa orang sebelum sampai di tangan saya. Boarding pass ini juga akan dipegang beberapa orang berikutnya.

Setelah itu, kita masuk ke pintu x-ray, melepas pakaian dan benda logam di tubuh, dan menyimpannya di baskon yang ratusan orang telah memegangnya. Pakaian yang dipakai juga sudah tersentuh dengan baskon tempat menyimpan barang orang lain.

Masih lumayan kalau menuju ke pesawat memakai garbarata, tapi jika naik bis berdesakan lebih menyiksa lagi, berdiri merapat dengan penumpang lain. Saat duduk di pesawat dan memasang seat-belt, kita memegang pengikat besinya yang tentu sudah dipegang oleh penumpang dengan jumlah yang tak terhitung.

Saya belum menjelaskan uluran tangan saat bertemu dengan kenalan yang jumlahnya tidak bisa diprediksi. Saya belum juga mengurai berapa lagi benda asing yang akan dipegang saat sampai di hotel tempat menginap, yang kesemuanya sudah pernah tersentuh oleh orang lain.

Per situasi ini, saya mencari tempat cuci tangan atau menyemprotkan tangan saya dengan cairan alkohol.

Dari pengalaman ini, saya merenung bahwa anjuran sementara untuk tidak melakukan perjalanan, atau anjuran untuk tidak menghadiri keramaian menjadi sangat logis. Saya mencoba mengurai bahwa begitu kuatnya titik balik dari penyebaran pandemi global ini.

Pertama, sebagai kepala rumah tangga, saatnya mengambil peran untuk menjadi orang rumahan yang selama ini selalu terabaikan. Saatnya menengok dinamika kehidupan rumah yg selama ini tidak pernah disadari. Saatnya melihat keluarga kita dari dalam, merasakan denyut kehidupan nyata mereka. Sebagai suami, saatnya menjadi bagian penting dari betapa beratnya isteri menjadi pengurus utama keluarga termasuk pendidikan anak-anak kita. Saatnya para pria sadar bahwa urusan domestik itu sesuatu yang sangat kompleks. Singkatnya, Pandemi virus ini membawa kita untuk belajar berterima kasih pada ibu dan anak rumah tangga kita.

Kedua, sebagai akademisi dan pendidik, saya melihat pandemi ini membawa momentum baru pada model pembalajaran kita. Kritik bahwa pembelajaran yang selama ini mengandalkan tatap muka perlu diperkaya dengan model pembelajaran yang ‘high tech’ dan ‘high touch’ mendapatkan momentumnya. Keluarnya edaran dari perguruan tinggi untuk mengaktifkan model pembelajaran ‘Dalam Jaringan’ (Daring) membawa kita untuk belajar bagaimana pembelajaran online ini yang sudah lama digaungkan bisa diaplikasikan dengan lebih efektif.

Ketiga, sebagai umat beragama, pandemi virus ini menjadi momentum terbaik untuk menguatkan doa dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta bahwa semua kembali kepadaNya setelah kita melakukan ikhtiyar terbaik untuk melakukan pencegahan. Saatnya kita menformat silaturrahim kita dengan saling mendoakan keselamatan meskipun tanpa harus bertemu fisik. Saatnya kita sebagai hamba untuk semakin instropeksi bahwa tidak mungkin kejadian pandemi seperti ini berdiri sendiri tanpa hikmah yang bisa dipetik. Dan yang bisa memetiknya adalah mereka yang menjadi bagian dari ‘kaum yang suka berfikir’.

Dan keempat, sebagai penggemar dan ketua komunitas ‘jogging club’, pandemi ini menyisakan rindu kepada teman-teman dari beragam profesi dan karakter yang membangun keutuhan komunitas. Rindu dengan cara mereka yang selalu ingin jabat tangan kalau bertemu. Rindu dengan ulasan dan amatan mereka tentang peta politik dan kehidupan ini. Rindu dengan ekspresi muka mereka yang selalu menunggu kejutan baru tentang apa saja. Termasuk perbincangan ramuan vitalitas yang dibutuhkan untuk menjastifikasi bahwa mereka masih ‘digjaya’.

Saya memaklumi psikologi mereka, bukankah ‘Ramang (pemain legendaris PSM) sudah tua’. Bukan hanya tua, bahkan Ramang sudah wafat. Yah, apapun dinamikanya mereka, kalau bertemu di ‘jogging track’, kerumitan pandemi ini menjadi terlupakan sejenak. Yah, dalam tanda baca kehidupan itu selalu ada ‘titik’nya. Dan yang pintar hidup adalah yang mencoba mengambil ‘titik balik’nya. (and/hariansulsel)

Oleh: Hamdan Juhannis – Rektor UIN Alauddin Makassar, Ketua PW LPTNU Sulsel dan saat ini tercatat sebagai Guru besar bidang Sosiologi Pendidikan

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *