HARIANSULSEL.COM, Jakarta – Barangkali sebagian dari kita tidak menyadari bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa yang visioner dan mampu menjadi landasan atau rujukan, bukan hanya dalam menyelesaikan persoalan internal bangsa Indonesia, tetapi bahkan juga persoalan yang berskala global. Bung Karno beserta bangsa Indonesia misalnya diakui sebagai pemimpin dunia karena dengan cara yang lebih damai mampu memaksa negara kolonial Barat memberikan kemerdekaan kepada negara- negara jajahannya di benua Asia – Afrika hanya dalam periode dua dasawarsa,
Dimulai dari konperensi Asia – Afrika di Bandung pada 1955 dan konp Non Blok di Beograd pd 1961/, Indonesia berhasil meyakinkan negara negara sedang berkembang utk menyepakati “ Dasa Sila Bandung”, Suatu prinsip hubungan internasional yang merujuk kepada Pancasila bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, penjajahan harus dilenyapkan dan prinsip co-eksistensi damai.
Dengan Pancasila juga, para pemimpin dan pendiri bangsa berhasil mempertahankan persatuan nasional dari beberapa kali pemberontakan. Bahkan dengan semangat dasa sila Bandung juga, mampu menyatukan Irian Jaya/Papua kepangkuan ibu pertiwi yang diawali dg perjuangan fisik dan selanjutnya dilanjutkan dengan perjuangan diplomasi.
Menjelang pemilu parlemen dan pemilihan Presiden pada 2024 ada sinyalemen kemungkinan ancaman terhadap persatuan nasional terutama bersumber pada isu “politik identitas”. Pada hal jelas Pancasila mengakui identitas yang berdasarkan suku, agama ras dan golongan. Aturan mainnya juga jelas bahwa perbedaan yang bersifat premordialistik diselesaikan melalui “ranah private“, sedangkan perbedaan kepentingan publik diselesaikan melalui “ranah publik “ seperti DPR, MPR dan Ranah Hukum.
Dalam rublik yang sangat terbatas ini akan disampaikan sekelumit keunggulan Pancasila sebagai ideologi negara & bangsa Indonesia.
Konsep “negara bangsa/Republik “ sesungguhnya berasal dari Eropa Barat. Paska Revolusi Perancis, suatu perlawanan golongan menengah terhadap Kerajaan/ imperium yang berdasarkan agama/Katolik Roma, melahirkan sistem politik baru yaitu “ negara bangsa yang mendasarkan pada prinsip “ liberty, equality dan fraternity – (kebebasan, persamaan dan persaudaraan”.), Agama dikeluarkan dari urusan publik / negara atau lebih dikenal dengan sekularisme.
Pancasila mengakui ketiga prinsip tersebut, tetapi menolak sekulerisme dengan alasan bahwa agama merupakan bagian yg tidak dapat dipisahkan dari peradaban bangsa. Dalam khasanah agama Islam dikenal dengan “toleransi kembar”, agama dan negara seperti saudara kembar yang tidak dipisahkan, agama merupakan sumber nilai, sedang negara adalah penjaga atau pelindungnya.
Merujuk pada prinsip toleransi kembar tersebut, negara menganggap agama sebagai urusan publik sekali gus ranah private dalam arti negara mengakui eksistensi dan bahkan memfasilitasi keperluan peribadatan setiap agama. Sebaliknya agama juga mengakui eksistensi negara dan tidak memaksakan syariat agama berlaku dalam ruang publik. Syariat agama berlaku dalam ranah privat masing-masing agama yang bersifat premordial yang wajib dijaga oleh pemeluk agama masing-masing. Suatu kebebasan beragama khas Indonesia. Jadi kalau prinsip tersebut dipahami dengan baik maka istilah “politik identitas ” tidak perlu ada.
Konsep persaudaraan (Fraternity) dalam perspektif kaum mayoritas Islam di Indonesia juga berbeda dengan konsep fraternity ala Barat. Para ulama mengajarkan tiga prinsip persaudaraan secara berlapis yaitu Persaudaraan; sesama muslim/ukhuwah Islamiah, persaudaraan sesama bangsa Indonesia /ukhuwah wathaniah; persaudaraan sesama umat manusia/ukhuwah basyariah.
Sila keempat Pancasila memperkenalkan sistem demokrasi yang khas yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan. Hikmah adalah frasa yang Islamistis yang dapat dimaknai “taat pada ajaran agama/budaya yang mengakar. Hal ini berbeda dengan demokrasi Barat, dimana kaum mayoritas berkuasa penuh atau “the winner take all”,
Dengan kata lain, bagi mereka yang mamahami khasanah keilmuan Islam, nilai Pancasila tersebut merupakan suatu hal yang tidak asing. Nilai tersebut diatas bisa kita cermati dari lima maqosid Al Shar’i (lima tujuan nilai/Agama) adalah ; menjaga keyakinan-nilai agama, menjaga kebebasan – jiwa manusia, hak mencari kebutuhan hidup yg bersifat material, kebebasan berpikir dan berpendapat, hak memelihara keturunan yang terjaga dari noda.
Jelas kiranya bahwa kita menerima warisan bernilai sangat tinggi yaitu Pancasila. Betapa dalam nya pemikiran para pendiri negara dan bangsa yang terdiri kaum “nasionalis “, yang ditempa oleh sistem pendidikan Barat sekuler dengan kaum nasionalis relijius yang dididik di lingkungan pendidikan agama. Negara dan agama berjalan seiring dan itulah kekhasan bangsa Indonesia: keduanya jangan dibenturkan dan jangan pula mempertentangkan agama yang satu dengan agama lainnya.
Penulis: KH. As’ad Said Ali – Wakil Ketua Umum PBNU masa khidmat 2010 – 2015/Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).