HARIANSULSEL.COM, Ternate – Malam 20 Mei 2025 itu tak seperti malam biasanya. Bukan hanya karena Masjid Nurul Ihsan di Jalan Tinumbu, Makassar, dipadati ratusan jamaah dari berbagai penjuru, tetapi karena suasananya seperti mengajak kita melangkah ke lorong waktu. Sebagai santri yang kini jauh di Ternate, saya menyimak Haul ke-12 Anregurutta Drs. KH. Muhammad Harisah AS melalui siaran langsung media sosial Pondok Pesantren An Nahdlah. Namun sungguh, layar digital tak mampu membendung haru yang menyelinap ke dalam hati.
Haul ini bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah ziarah ruhani yang membangunkan kembali kesadaran kita tentang pentingnya adab, ilmu, dan cinta kepada ulama. Lantunan ayat suci dan tahlil akbar yang dipimpin para santri menggema menyentuh relung hati, seolah suara itu datang dari masa lalu: dari ruang-ruang halaqah tempat Gurutta dulu duduk mengajar, dari sajadah-sajadah yang pernah basah oleh sujud panjangnya, dari malam-malam sunyi yang dulu ia isi dengan zikir dan doa untuk umat.
Malam itu, suasana menjadi sangat khusyuk saat sesi tapak tilas kehidupan Gurutta dimulai. Prof. Firdaus Muhammad, yang memandu sesi tersebut, bukan hanya menghadirkan potret sejarah, tapi juga membacakan kisah-kisah hidup yang tak tercatat di buku. Tentang bagaimana Gurutta muda menempuh pendidikan dengan penuh keterbatasan, bagaimana beliau membangun Pesantren An Nahdlah dengan semangat istikamah, dan bagaimana hidupnya sepenuhnya diabdikan untuk umat. Saya menyimak dengan dada yang bergemuruh — merasa dekat sekaligus rindu kepada sosok yang menjadi pelita dalam kegelapan zaman.
Yang paling menyentuh adalah ketika Dr. KH. Afifuddin Harisah, Lc., MA — putra beliau sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren An Nahdlah — menyampaikan pesan akhlak dari Gurutta. “Kalau beliau di rumah orang, tidak pernah menatap perempuan yang membawakan makanan. Dan beliau tak pernah ma’calla (mencela) fisik orang lain,” ungkapnya. Akhlak seperti ini jarang ditulis dalam biografi ulama, tetapi justru di sanalah letak kemuliaan sesungguhnya. Saya belajar, bahwa keteladanan sejati bukan pada ceramah yang panjang, tetapi pada laku hidup yang jernih.
Namun haul ini tak hanya membangkitkan ingatan. Sejak siang hari, pesantren membagikan ratusan nasi kotak kepada masyarakat sekitar — masjid-masjid, warung kopi, hingga warga yang beraktivitas di jalanan. Ini bukan formalitas, melainkan ekspresi nilai-nilai Gurutta yang hidup: bahwa ilmu harus diiringi dengan empati, dan zikir harus disertai tindakan. Dalam setiap bungkusan nasi itu, saya yakin terselip doa dan cinta. Karena demikianlah Gurutta mengajarkan — bahwa memberi, adalah bentuk lain dari dzikir yang paling nyata.
Saya menutup malam itu dalam keheningan kamar, masih menyimak lantunan doa dari layar kecil ponsel. Namun batin saya terasa luas, seolah tengah duduk di saf masjid bersama ratusan jamaah lainnya. Dalam dunia yang kerap melupakan nilai, haul ini menjadi pengingat: bahwa ulama bukan sekadar pengajar, tetapi penuntun jalan. Bahwa pesantren bukan sekadar lembaga, tapi rumah besar peradaban.
Dan Gurutta KH. Muhammad Harisah AS, bagi saya dan banyak santri lain, adalah bukti bahwa ilmu yang disampaikan dengan adab dan cinta akan hidup jauh melampaui usia biologis manusia. Beliau telah pergi 12 tahun lalu, namun malam itu, saya merasakan beliau hadir — bukan hanya di masjid, tapi juga di dada kami yang masih belajar mencintai ilmu dan meneladani akhlak para pewaris nabi.
Dari jauh kami hadir, dari hati kami menyatu. Karena cinta tak mengenal jarak, dan ilmu tak mengenal batas waktu.
Ternate, 21 Mei 2025
Ditulis dengan penuh cinta dan rindu, melalui siaran langsung akun resmi Ponpes An Nahdlah dan kekuatan imajinasi batin seorang santri
Penulis: Andy Dosen IAIN Ternate – Santri Majelis Pondok Pesantren An Nahdlah