HARIANSULSEL.COM, Ternate – Waktu itu, saya masih dosen muda. Serba bingung, canggung, dan penuh tanda tanya ketika pertama kali mengurus jabatan fungsional Asisten Ahli. Semua berkas sebenarnya sudah lengkap, tetapi yang saya khawatirkan adalah proses penilaiannya. Banyak cerita beredar —tentang proses dan tahapan yang panjang, serta betapa tidak mudahnya mendapatkan fungsional pertama. Setelah bertemu Prof serasa cerita itu terbantahkan.
Suatu siang yang teduh, di halaman Fakultas Tarbiyah, di bawah pohon yang rindang, saya melihat beliau—Prof. Dr. M. Djidin, M.Ag—berjalan santai. Saya memberanikan diri menghampiri, menyapa, lalu menyampaikan maksud untuk membuat janji menyerahkan form penilaian jurnal. Beliau menoleh, tersenyum lembut, dan menjawab pelan, “Tidak usah nanti-nanti. Selesaikan saja sekarang, di sini.”
Dan benar, tanpa menunggu waktu, di bawah pohon itu juga, beliau membuka form, membaca jurnal saya, menilainya dengan tenang, dan langsung membubuhkan paraf dan tanda tangan. “Fungsional itu harus disegerakan. Jangan ditunda-tunda,” ucapnya sambil menyerahkan kembali berkas saya. Tanpa proses yang lama. Tanpa basa-basi. Hanya semangat untuk melihat koleganya bertumbuh. Begitulah beliau. Sederhana, cepat menolong, dan selalu membuat orang di sekitarnya merasa dihargai.
Selain itu, ketika saya hendak melanjutkan studi di Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, beliau termasuk salah satu Guru Besar yang menjadi wasilah kemudahan dalam proses tugas belajar. Rekomendasi beliau sebagai akademisi, bersama Prof. Jubair Situmorang (Guru Besar Fakultas Syariah IAIN Ternate) dan Prof. Mujiburrahman (Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, kini Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh), menjadi pintu penting yang mempermudah langkah saya dalam mendapatkan izin dan akses melanjutkan studi. Tentu tak kalah penting juga peran dan bantuan dari Rektor IAIN Ternate Prof Radjiman dan Dekan FTIK Dr Sahjad M. Aksan memberikan izin dan informasi dalam melanjutkan studi.
Selanjutnya ketika saya membaca surat purna baktinya yang beliau kirim di grup dosen IAIN Ternate, saya terdiam cukup lama. Bukan hanya karena isi suratnya yang menyentuh, tapi karena semua kenangan tentang beliau seperti berbaris rapi dalam ingatan. Beliau bukan hanya seorang guru besar secara akademik, tetapi guru besar dalam laku hidup. Seorang ayah, sekaligus guru, yang kehadirannya menenangkan dan meninggalkan jejak kebaikan.
Di kampus, beliau bukan orang yang suka menonjolkan diri. Tapi langkah-langkahnya selalu penuh makna. Ia tak banyak bicara soal prestasi, tetapi jejaknya di kampus ini sulit untuk dilupakan. Ia bukan tipe yang banyak memberi ceramah, tapi cara hidupnya sendiri sudah menjadi pelajaran.
Saya teringat pula, saat menjalani tugas belajar di Makassar, istri beliau wafat. Saya sempat bertakziah ke rumah duka. Di tengah ujian seberat itu, saya menyaksikan sendiri wajah beliau yang begitu sabar, teduh, dan ikhlas. Tak ada keluhan. Tak ada keluh kesah. Hanya sorot mata yang lapang dan pasrah, seolah sedang mengajarkan kepada kami semua: bahwa sabar bukanlah soal diam, tetapi tentang menerima dengan tenang apa pun ketetapan Allah.
Kini, masa pengabdian beliau di kampus akan segera berakhir. Tapi, bagi kami, para dosen yang pernah disentuh oleh bimbingannya, pengabdian itu tak pernah benar-benar usai. Ia tertanam dalam hati kami. Dalam ruang-ruang kelas. Dalam langkah-langkah kami yang dulu pernah beliau permudah—bahkan hanya di bawah pohon.
Selamat memasuki masa purna bakti, Prof. Terima kasih atas teladan dan bimbingan yang begitu berarti. Semoga Allah swt., senantiasa melimpahkan rahmat, keberkahan, dan pahala yang tak putus atas setiap jejak yang telah Prof tinggalkan. Dan semoga silaturahmi ini tetap hidup—seperti sejuknya siang hari itu, saat Prof Djidin menilai jurnal saya, tanpa sekat, tanpa jarak—dengan penuh kasih dan keikhlasan.
Penulis: Andy – Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ternate