HARIANSULSEL.COM, Makassar – Wacana Gubernur Sulawesi Selatan yang mendorong kepala dinas (kadis) dan staf pemerintahannya untuk menghafal Juz 30 Al-Qur’an telah mengundang berbagai tanggapan publik. Di satu sisi, kebijakan ini tampak sebagai upaya membangun birokrasi yang religius, bersih, dan berintegritas. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat simbolik daripada substantif, dan berisiko mencampuradukkan ranah pribadi religius dengan fungsi-fungsi profesional aparatur sipil negara.
Tidak diragukan bahwa Al-Qur’an, khususnya Juz 30 yang berisi surat-surat pendek sarat makna moral, dapat menjadi sumber inspirasi untuk menumbuhkan etika kerja dan kepemimpinan yang berorientasi pada kejujuran, tanggung jawab, serta pelayanan tulus. Namun, ketika hafalan ini dijadikan syarat, standar, atau bahkan tolok ukur bagi kualifikasi jabatan publik, maka timbul pertanyaan penting: apakah ini bentuk peningkatan kualitas aparatur negara, atau justru reduksi makna profesionalisme birokrasi?
Kita tentu menghargai niat baik Gubernur. Dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dikenal religius, kedekatan aparatur sipil dengan nilai-nilai agama dapat memperkuat kultur pemerintahan yang beretika. Namun, semestinya kedekatan ini diwujudkan bukan dalam bentuk kewajiban hafalan, melainkan internalisasi nilai-nilai Qur’ani dalam bentuk perilaku kerja—seperti kejujuran, anti korupsi, pelayanan publik yang humanis, serta semangat keadilan sosial.
Kapasitas seorang pejabat publik ditentukan oleh keahlian, integritas, dan dedikasi terhadap tugasnya. Hafalan Juz 30, meski bernilai tinggi dalam perspektif keislaman, bukanlah indikator utama kemampuan seseorang dalam merumuskan kebijakan, mengelola anggaran, atau memimpin sebuah lembaga. Jika dijadikan prasyarat formal atau informal, maka kebijakan ini rentan mendiskriminasi mereka yang religius namun tidak memiliki kemampuan hafalan, atau mereka yang bekerja dengan profesionalisme tinggi namun memiliki ekspresi keagamaan yang berbeda.
Alih-alih menekankan hafalan sebagai formalitas, pemerintah daerah seharusnya memperkuat program-program etika birokrasi, penguatan spiritualitas aparatur melalui pengajian rutin, pelatihan integritas, dan pembinaan moral yang berkelanjutan. Spirit Qur’ani mestinya hidup dalam keadilan anggaran, transparansi proyek publik, serta kesungguhan melayani rakyat kecil—itulah implementasi paling konkret dari nilai-nilai agama.
Kebijakan yang terlalu menonjolkan ekspresi religius juga memiliki potensi politis. Ia dapat ditafsirkan sebagai bentuk populisme religius—upaya menampilkan citra saleh untuk mendapatkan legitimasi sosial, tanpa jaminan peningkatan kualitas pelayanan publik. Apalagi jika tidak dibarengi indikator kinerja yang jelas, kebijakan semacam ini berisiko memunculkan kritik sebagai pencitraan semata.
Lebih jauh, pendekatan simbolik semacam ini dapat mengaburkan prioritas pembangunan daerah. Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan serius: kesenjangan pendidikan, kemiskinan struktural, pelayanan kesehatan yang belum merata, dan krisis ekologi di wilayah pesisir. Mengalihkan perhatian publik kepada soal hafalan bisa jadi kontraproduktif jika tidak ditopang oleh kebijakan-kebijakan substansial di sektor strategis.
Daripada mewajibkan hafalan Juz 30, pendekatan yang lebih inklusif bisa dilakukan. Misalnya, menyediakan waktu khusus untuk kajian tafsir Al-Qur’an bagi pejabat setiap pekan, membuka ruang refleksi spiritual di lingkungan kerja, atau menjalin kemitraan dengan lembaga keagamaan dalam pembinaan moral aparatur. Ini adalah bentuk moderasi beragama dalam birokrasi yang tidak memaksa, namun membina.
Religiusitas dalam pemerintahan seyogianya tidak menjadi beban administratif, melainkan menjadi jiwa yang menuntun kebijakan. Seorang kepala dinas yang tidak hafal Juz 30, tetapi konsisten menolak gratifikasi, memperjuangkan anggaran pendidikan untuk pelosok desa, serta jujur dalam menyampaikan laporan kinerja, adalah contoh nyata birokrat yang Qur’ani dalam tindakan.
Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan ini mengandung niat baik, tetapi perlu diletakkan dalam kerangka tata kelola yang demokratis, inklusif, dan profesional. Kita mendambakan birokrasi yang religius, namun religiusitas itu harus membumi dalam etika kerja, bukan sekadar terucap dalam hafalan. Mari menjadikan Al-Qur’an bukan hanya untuk dihafal, tetapi lebih penting lagi, untuk dihayati dan diamalkan dalam melayani rakyat.
Penulis: Zaenuddin Endy – Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan