Kekeliruan Fatal Trans7 dalam Memahami Tradisi Pesantren

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Akhir-akhir ini, dunia pesantren kembali menjadi sorotan publik. Berbagai kritik dan pandangan bermunculan — sebagian bernada konstruktif dan membuka ruang refleksi, namun tidak sedikit pula yang kelewatan batas hingga menimbulkan kesalahpahaman serius.

Salah satu yang mencuat belakangan ini adalah tayangan dari salah satu program di Trans7, yang menampilkan potongan video KH. Anwar Manshur (Pondok Pesantren Lirboyo) disertai narasi provokatif:

 “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok? Kiai kaya raya, tapi umat kasih amplop.”

Narasi seperti ini jelas menyesatkan. Ia bukan lagi bentuk kritik, tetapi serangan terhadap kehormatan pesantren dan para kiai sepuh. Tayangan tersebut menggambarkan pesantren dengan cara pandang dangkal, seolah-olah kehidupan pesantren diwarnai feodalisme dan ketimpangan sosial. Padahal, realitasnya justru sebaliknya: pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan adab, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap ilmu.

Dalam tradisi pesantren, hubungan antara kiai dan santri tidak didasarkan pada kekuasaan, tetapi pada ikatan ilmu dan akhlak. Duduk sopan di hadapan guru, menundukkan kepala saat berbicara, atau mencium tangan kiai bukanlah simbol penindasan, melainkan manifestasi cinta dan penghormatan terhadap ilmu.

KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wal Muta’allim menegaskan ada 12 adab murid  kepada guru, salah satunya memandang guru dengan pandangan memuliakan, selengkapnya boleh dibaca diartikel yang berjudul Adab-adab Pelajar kepada Guru Menurut KH Hasyim Asy’ari.

Dalam tradisi pesantren kedudukan adab dihadapan guru dianggap hal yang mutlak yang harus dijaga, sebab pesantren meyakini ilmu tanpa adab akan kehilangan berkahnya, karena adab merupakan ruh dari setiap amal dan ilmu. Pemikiran ini menegaskan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan kepribadian yang beradab.

Hal senada disampaikan oleh KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Dalam salah satu penjelasannya, beliau menyebut:

“Santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan). Santri juga adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada.” (Gus Mus, NU Online, 2023)

Pernyataan ini menegaskan bahwa penghormatan santri kepada kiai tidak lahir dari rasa takut, melainkan dari cinta, kesadaran, dan keikhlasan. Nilai-nilai inilah yang justru membedakan pesantren dari model pendidikan modern yang kerap kehilangan dimensi moral dan spiritualnya.

Kesalahan fatal Trans7 terletak pada cara pandang sempit dan bias terhadap pesantren. Dalam kacamata media yang serba materialistik, kedisiplinan dianggap tekanan, kesopanan dianggap penindasan, dan penghormatan dianggap feodalisme. Padahal, semua itu merupakan ekspresi moral dan spiritual yang telah menjadi bagian dari peradaban Islam Nusantara.

Lebih parah lagi, video yang ditayangkan bukan hasil liputan langsung, melainkan potongan yang diambil tanpa konteks utuh. Ini bukan hanya bentuk pelanggaran etika jurnalistik, tetapi juga tindakan yang menyesatkan publik dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap media.

Alih-alih memberikan edukasi, tayangan semacam ini justru memperkuat stigma dan memperlemah penghormatan terhadap lembaga yang selama ini berperan penting dalam membentuk karakter bangsa.

Pesantren adalah penjaga ilmu, akhlak, dan peradaban bangsa. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi pusat pembentukan manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dari pesantren lahir ulama, pejuang, dan pemimpin bangsa yang menebar kebaikan dan kebijaksanaan.

Sebagaimana ditegaskan oleh KH. Said Aqil Siroj,

“Pesantren merupakan benteng yang kokoh dalam mempertahankan budaya, terutama akhlaq al-karimah. Tanpa pesantren, kita tidak tahu bagaimana akhlak generasi muda, anak cucu kita nantinya.” (KH. Said Aqil Siroj, NU Online, 2021)

Kutipan ini menunjukkan bahwa pesantren bukan lembaga tertutup atau kolot, tetapi institusi yang terus menjaga moralitas dan kemanusiaan bangsa di tengah arus globalisasi. Menghormati kiai dan menjaga tradisi bukan bentuk keterbelakangan, melainkan ekspresi luhur dari sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai spiritual.

Selanjutnya sebagai lembaga penyiaran nasional, Trans7 memiliki tanggung jawab etik dan moral untuk menyampaikan informasi dengan benar, berimbang, dan tidak menyesatkan publik. Tayangan yang memelintir makna tradisi pesantren adalah bentuk kelalaian profesional yang tidak bisa dianggap sepele.

Karena itu, publik berhak menuntut klarifikasi dan permintaan maaf terbuka kepada KH. Anwar Manshur, Pondok Pesantren Lirboyo, serta seluruh kalangan pesantren di Indonesia. Tindakan ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menegakkan keadilan moral.

Selain itu, sudah selayaknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) turun tangan menindaklanjuti tayangan Trans7 yang dinilai menyesatkan publik dan berpotensi menimbulkan keresahan di kalangan umat. Sebagai lembaga pengawas penyiaran nasional, KPI memiliki mandat untuk memastikan seluruh siaran televisi menghormati nilai-nilai keagamaan, moral, serta prinsip keberimbangan informasi sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Tindakan Trans7 yang menayangkan potongan video KH. Anwar Manshur dengan narasi provokatif tanpa konteks yang jelas dapat dikategorikan melanggar Pasal 7 P3SPS, yang secara tegas menyatakan bahwa lembaga penyiaran “dilarang menyajikan program yang merendahkan, mempertentangkan, dan/atau melecehkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Selain itu, tayangan tersebut juga berpotensi melanggar Pasal 13 P3SPS, yang mewajibkan setiap lembaga penyiaran untuk “menghormati hak privasi, martabat, dan kehormatan seseorang dalam setiap program siaran.”

Oleh karena itu, KPI perlu memanggil pihak Trans7 untuk memberikan klarifikasi dan, apabila terbukti melanggar, menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Langkah tegas dari KPI diharapkan menjadi pembelajaran bagi seluruh lembaga penyiaran agar lebih berhati-hati dalam menayangkan konten yang berkaitan dengan lembaga keagamaan, terutama pesantren. Kebebasan pers memang dijamin oleh undang-undang, tetapi kebebasan itu tidak boleh digunakan untuk menyudutkan dan menistakan lembaga yang menjadi pilar moral bangsa.

Selanjutnya seruan #BoikotTrans7 yang muncul di media sosial bukan sekadar ledakan emosi, tetapi bentuk perlawanan moral terhadap ketidakadilan representasi. Umat menolak cara pandang yang menistakan lembaga pendidikan Islam dan memelintir makna luhur adab pesantren.

Kritik terhadap pesantren tentu diperbolehkan — bahkan diperlukan — selama disampaikan dengan niat tulus, data yang benar, dan pemahaman yang jernih. Namun, ketika kritik berubah menjadi fitnah dan cemoohan, maka itu bukan lagi bagian dari kebebasan pers, melainkan bentuk kezaliman terhadap tradisi keilmuan Islam.

Pesantren tidak pernah mengajarkan feodalisme. Pesantren mengajarkan adab, keikhlasan, dan penghormatan terhadap ilmu. Menghormati kiai bukan berarti memuja manusia, tetapi memuliakan ilmu dan guru sebagai warisan peradaban.

Inilah nilai luhur yang tidak akan pernah dipahami oleh mereka yang hanya menilai pesantren dari balik layar kaca. Pesantren adalah pelita moral bangsa dan memadamkan cahayanya berarti menggelapkan masa depan Indonesia.

Penulis: Dr. Andy, S.Pd.I., M.Pd. – Dosen IAIN Ternate dalam bidang kepakaran Manajemen Pendidikan Islam dan Manajemen Pondok Pesantren

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *