Media dan Pesantren: Antara Kritik dan Sensasi

HARIANSULSEL.COM, Ternate – Dalam lanskap media Indonesia yang kian bising dan berorientasi klik, tayangan yang memantik emosi publik sering kali lebih laku ketimbang liputan yang mendidik. Kasus viral tayangan program “Xpose Uncensored” Trans7 yang menyinggung Pesantren Lirboyo dan KH Anwar Manshur pada 13 Oktober 2025 menjadi contoh nyata bagaimana media televisi tergelincir antara semangat kritik dan jebakan sensasi. Sebuah dilema yang tidak hanya melukai institusi keagamaan, tetapi juga menggadaikan kredibilitas jurnalisme itu sendiri.

Dalam tayangan yang kini memicu gelombang tagar #BoikotTrans7, narasi yang digunakan dinilai melecehkan tradisi pesantren: santri yang rela “ngesot” demi menyalami kiai digambarkan dengan nada sinis, seolah praktik penghormatan spiritual ini adalah bentuk eksploitasi atau kenaifan. Padahal, bagi santri dan keluarga besar pesantren, tradisi ini adalah wujud adab, tawadhu’, dan penghormatan kepada ulama sebagai Nilai-nilai yang justru menjadi pondasi karakter bangsa.

Pesantren Lirboyo: Pilar Moral yang Dilecehkan

Pesantren Lirboyo bukan lembaga sembarangan. Didirikan sejak 1910, Lirboyo telah melahirkan ribuan ulama dan cendekiawan yang tersebar di seluruh Nusantara. KH Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo yang menjadi sorotan tayangan Trans7, adalah sosok kiai sepuh yang dihormati bukan karena kekayaan atau kekuasaan, melainkan karena dedikasi seumur hidup dalam mendidik santri dan menjaga tradisi keilmuan Islam.

Ketika media nasional seperti Trans7 menayangkan potongan video yang menyudutkan dengan judul provokatif “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”. Publik wajar bereaksi keras. Bukan karena mereka anti-kritik, tetapi karena mereka merasakan penghinaan terhadap ruang sakral yang telah puluhan tahun menjaga moralitas bangsa dalam sunyi. Tradisi ngesot dan mencium tangan kiai bukanlah bentuk pemujaan buta, melainkan pendidikan karakter: mengajarkan kerendahan hati di tengah dunia yang penuh arogansi, mengajarkan rasa hormat di tengah budaya yang kian individualistik.

Kritik versus Sensasi: Garis Tipis yang Berbahaya

Kritik terhadap pesantren bukanlah hal tabu. Setiap lembaga sosial, tanpa terkecuali, perlu dikritik agar terus berbenah. Kritik yang sehat adalah kritik yang lahir dari riset mendalam, empati, dan tanggung jawab moral. Ia tidak menutup mata pada kesalahan, namun tidak pula mengeksploitasi kelemahan demi meraup perhatian publik. Kritik yang bermartabat adalah kritik yang memberi ruang bagi perbaikan, bukan pembunuhan karakter.

Berbeda halnya dengan framing yang dibungkus “jurnalisme sensasi” yang mengedepankan dramatisasi, memelintir konteks, dan menebar stigma. Ketika media memilih jalan sensasional, ia kehilangan fungsi pencerahan dan berubah menjadi arena gladiator opini. Yang tersisa hanyalah kebisingan tanpa substansi, amarah tanpa solusi, dan polarisasi tanpa rekonsiliasi.

Anatomi Kegagalan Jurnalistik: Ketika Rating Mengalahkan Etika

Kasus Trans7 ini bukan insiden tunggal, melainkan gejala kronis dalam industri media Indonesia. Program “Xpose Uncensored” yang mengklaim diri sebagai jurnalisme investigatif justru jatuh pada perangkap sensasionalisme murahan.
Beberapa kesalahan fatal yang dilakukan:

Pertama, framing tendensius. Judul dan narasi yang digunakan sengaja dipilih untuk memancing kemarahan dan rasa ingin tahu yang tidak sehat. Tradisi pesantren yang sarat makna spiritual disajikan dengan nada mengejek dan merendahkan.

Kedua, melanggar prinsip cover both sides. Tidak ada konfirmasi kepada pihak pesantren atau kiai yang bersangkutan. Liputan sepihak ini menciptakan narasi yang menyesatkan dan tidak adil. Ini jelas melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini.”

Ketiga, abai pada dampak sosial. Media tidak memikirkan bagaimana tayangan tersebut akan memicu polarisasi, menghina perasaan jutaan santri dan alumni pesantren, serta merusak citra lembaga pendidikan yang telah berjasa bagi bangsa.

Kasus ini mencerminkan problem mendasar: media yang terjebak dalam persaingan rating, algoritma media sosial yang memprioritaskan emosi ketimbang fakta, dan kultur redaksi yang menormalisasi sensasi sebagai strategi bertahan hidup. Namun, di tengah tuntutan ekonomi media, apakah pantas jurnalisme menggadaikan integritasnya?

Bias Persepsi: Pesantren sebagai “Liyan”

Kasus ini juga mencerminkan problem mendasar: bias persepsi terhadap dunia pesantren. Masih ada pandangan bahwa pesantren adalah ruang tertutup, konservatif, bahkan irasional. Pandangan yang diwarisi dari stigma kolonial dan diperkuat oleh narasi media populer. Padahal, realitas jauh lebih kompleks dan mencerahkan. Banyak pesantren telah menjadi pusat inovasi sosial, dialog lintas iman, pemberdayaan ekonomi, hingga advokasi lingkungan.

Pesantren seperti Al-Ittifaq di Bandung menjadi model agrobisnis berbasis spiritual, Nurul Jadid di Probolinggo membangun ekosistem digital untuk santri, dan Tebuireng terus menjadi garda depan moderasi Islam.

Sayangnya, narasi-narasi konstruktif seperti ini jarang diangkat, karena tidak “menjual” di tengah logika rating dan algoritma media modern. Media lebih suka menampilkan pesantren dalam bingkai eksotisme atau kontroversi: santri yang “nyentrik,” kurikulum yang “ketinggalan zaman,” atau konflik internal yang diperbesar. Akibatnya, citra pesantren di ruang publik terdistorsi bukan sebagai agen perubahan, melainkan sebagai objek tontonan.

Tanggung Jawab Media: Antara Rating dan Amanah Publik

Pers yang sehat seharusnya menempatkan ulama dan pesantren bukan sebagai objek sensasi, tetapi sebagai mitra dalam membangun peradaban bangsa. Ketika media memelintir simbol-simbol keagamaan demi drama, yang hancur bukan hanya reputasi lembaga, tetapi juga kepercayaan publik terhadap media itu sendiri. Dalam jangka panjang, kredibilitas yang runtuh tidak bisa dibeli kembali dengan rating setinggi apa pun.

Media harus ingat bahwa kebebasan pers bukan lisensi untuk melukai. Kebebasan pers datang bersama tanggung jawab moral, etika profesi, dan kesadaran akan dampak sosial. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik menegaskan: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sementara Pasal 8 menyatakan: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”

Prinsip-prinsip ini seharusnya menjadi panduan dalam pemberitaan tentang institusi keagamaan: jangan sampai liputan yang dibalut semangat investigasi justru menjadi fitnah yang merendahkan martabat dan memecah belah.

Kita tidak menolak kritik, tapi kita menolak pelecehan. Kita tidak anti media, tapi menolak jurnalisme yang kehilangan nurani. Trans7 dan seluruh media di negeri ini, perlu kembali pada prinsip dasar: cover both sides, tabayyun, dan tanggung jawab sosial. Media harus sadar bahwa pesan yang mereka sebarkan bukan sekadar informasi, tetapi juga pembentuk opini publik, citra moral, bahkan stabilitas sosial.

Respons yang Dinanti: Dari Permintaan Maaf Menuju Pembenahan Sistemik

Permintaan maaf Trans7 adalah langkah pertama yang baik, namun tidak cukup. Publik menuntut pertanggungjawaban yang lebih konkret:

Pertama, evaluasi internal menyeluruh. Trans7 perlu mengaudit ulang SOP produksi konten, khususnya yang menyentuh isu sensitif seperti agama dan institusi keagamaan. Pelatihan sensitivitas budaya dan etika jurnalistik harus menjadi kewajiban bagi seluruh jajaran redaksi.

Kedua, sanksi yang tegas. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menindak tegas pelanggaran kode etik ini. Bukan sekadar teguran, tetapi sanksi administratif yang membuat jera dan memberikan efek pembelajaran bagi stasiun televisi lainnya.

Ketiga, dialog dengan pesantren. Trans7 perlu membangun dialog terbuka dengan pihak Pesantren Lirboyo dan organisasi keagamaan terkait untuk memahami perspektif mereka dan membangun kepercayaan yang telah rusak.

Keempat, tayangan klarifikasi dan edukasi. Alih-alih hanya meminta maaf, Trans7 seharusnya membuat program khusus yang mengangkat sisi positif pesantren, kontribusi nyata mereka bagi bangsa, dan makna spiritual di balik tradisi-tradisi yang selama ini disalahpahami.

Penutup: Doa di Balik Dinding Pesantren

Pesantren memang bisa dikritik. Bahkan, pesantren perlu dikritik agar terus relevan dengan zaman. Namun, jangan pernah memperlakukan pesantren dan ulama sebagai bahan tontonan, sebagai spectacle yang dikonsumsi tanpa rasa hormat. Sebab di balik dinding sederhana pesantren, di antara aroma kitab kuning dan lantunan shalawat subuh, ada doa yang tak pernah putus untuk negeri ini. Doa yang mungkin justru menjaga Indonesia tetap teduh di tengah hiruk-pikuk sensasi yang tak berkesudahan.
Dan siapa tahu, doa itu juga ditujukan untuk media yang telah melukai mereka. Karena itulah akhlak pesantren: tidak membalas penghinaan dengan penghinaan, tetapi dengan doa dan kesabaran. Pertanyaannya: apakah media kita masih punya hati nurani untuk mendengar doa itu?

Penulis: KH. Achmad Dardiri, S.H.I., M.Ag – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Ternate

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *