HARIANSULSEL.COM, Makassar – Di tengah derasnya arus globalisasi dan gelombang modernitas yang menembus sekat-sekat budaya, pondok pesantren tetap berdiri tegak sebagai salah satu pilar peradaban Islam di Indonesia. Ia bukan sekadar institusi pendidikan keagamaan, tetapi juga wadah pembentukan karakter, pusat transmisi ilmu, dan benteng moral umat. Di balik dinding sederhana dan kehidupan asketik para santrinya, tersimpan kekuatan spiritual dan intelektual yang telah melahirkan banyak ulama, pemimpin, dan pembaharu bangsa.
Pesantren hidup dari keberkahan ilmu dan sanad keilmuan yang bersambung. Dalam tradisi pesantren, setiap ilmu yang diajarkan selalu disandarkan pada sumbernya yang sahih — bersambung dari guru kepada guru hingga Rasulullah ﷺ. Sanad ini bukan hanya simbol legitimasi intelektual, tetapi juga rantai keberkahan yang menghidupkan ruh ilmu. Ketika seorang santri belajar kitab kuning kepada kiainya, yang sejatinya sedang berlangsung bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan pewarisan nilai, adab, dan cahaya batin.
Keberkahan inilah yang menjadikan pesantren berbeda dari lembaga pendidikan modern yang cenderung menekankan aspek kognitif dan kompetitif. Ilmu di pesantren tidak dipelajari untuk kemegahan duniawi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menebar manfaat bagi sesama. Karena itu, seorang santri tidak hanya diukur dari kepandaiannya membaca kitab, tetapi dari sejauh mana ilmunya menumbuhkan akhlak dan ketawadhuan.
Akhlak sebagai Jiwa Santri
Akhlak adalah mahkota santri. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di pesantren, santri telah disambut oleh tradisi adab yang ketat dan penuh makna. Ia belajar bagaimana duduk di hadapan guru, bagaimana menjaga lisan, bahkan bagaimana menata hati ketika menuntut ilmu. Setiap gerak-geriknya diatur bukan untuk membatasi kebebasan, tetapi untuk melatih kepekaan batin dan kesadaran diri.
Ungkapan para ulama terdahulu menjadi prinsip utama: “Man la adaba lahu, la ‘ilma lahu” — barang siapa tidak beradab, maka tidak akan memperoleh ilmu. Di pesantren, adab mendahului ilmu. Seorang santri boleh jadi belum fasih berdebat dalam fikih atau balaghah, tetapi bila ia sopan, rendah hati, dan menghormati gurunya, maka pintu ilmu akan terbuka. Sebaliknya, kepintaran tanpa akhlak hanyalah kesombongan yang membutakan.
Pembentukan akhlak di pesantren dilakukan secara alami melalui kehidupan sehari-hari. Tidak ada jam pelajaran khusus tentang akhlak, tetapi setiap interaksi menjadi ladang pendidikan. Ketika santri mencuci piring bersama, membersihkan masjid, atau bergantian menjaga dapur, semua itu adalah pelajaran tentang tanggung jawab, keikhlasan, dan kebersamaan. Di sinilah letak kekhasan pesantren: pendidikan akhlak tidak bersifat teoritis, melainkan praksis.
Peran Kiai sebagai Pewaris Nabi
Dalam ekosistem pesantren, kiai memegang posisi sentral. Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga murabbi — pembimbing ruhani, pendidik karakter, dan panutan moral. Keberadaan kiai di pesantren bukan sekadar otoritas akademik, tetapi juga simbol keikhlasan dan pengabdian. Dengan kesederhanaan hidupnya, kiai mengajarkan arti ketulusan yang sejati: mengajar tanpa pamrih, membimbing tanpa henti, dan mendoakan tanpa diminta.
Kiai adalah cermin dari apa yang disebut oleh para ulama sebagai waratsat al-anbiya’ — pewaris para nabi. Ia tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga misi kenabian: menebarkan kasih sayang, memperbaiki akhlak, dan menuntun umat menuju jalan kebenaran. Karena itu, keberadaan kiai di pesantren tidak bisa digantikan oleh teknologi atau sistem pendidikan modern apa pun.
Kiai juga berperan sebagai penjaga sanad keilmuan dan sanad adab. Melalui tangan kiai, ilmu tidak hanya diwariskan secara intelektual, tetapi juga secara spiritual. Santri belajar tidak hanya apa yang dikatakan kiai, tetapi juga bagaimana kiai hidup, bersikap, dan berinteraksi. Dari tatapan mata, cara duduk, hingga tutur lembut kiai, santri menyerap nilai-nilai keteladanan yang tidak tertulis di kitab mana pun.
Dalam konteks sosial, kiai memainkan peran sebagai pemersatu umat dan penjaga nilai-nilai kebangsaan. Sejarah mencatat, dari pesantren-pesantren inilah lahir para pejuang kemerdekaan dan penggerak kebangkitan nasional. Kiai tidak hanya mendidik santri untuk menjadi alim, tetapi juga berjiwa sosial, siap berkhidmat untuk masyarakat.
Pesantren di Tengah Arus Modernitas
Di era digital dan globalisasi, pesantren menghadapi tantangan baru. Dunia luar berubah cepat, nilai-nilai moral mulai kabur, dan ilmu sering diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencari keuntungan. Namun pesantren tetap memiliki keistimewaan: ia mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya. Banyak pesantren kini yang membuka sekolah formal, memanfaatkan teknologi, dan memperluas jaringan ekonomi, tetapi tetap menjaga ruh tradisi: adab, sanad, dan keberkahan.
Justru di tengah krisis moral global, peran pesantren semakin relevan. Ketika dunia menuhankan logika dan data, pesantren menawarkan keseimbangan dengan hikmah dan adab. Ia mengingatkan bahwa kemajuan sejati tidak diukur dari kecerdasan buatan, tetapi dari kecerdasan hati. Bahwa manusia tidak hanya butuh pengetahuan, tetapi juga bimbingan spiritual.
Di sinilah pesantren menjadi benteng terakhir akhlak bangsa. Ia menjaga keseimbangan antara ilmu dan iman, antara logika dan rasa, antara dunia dan akhirat. Selama pesantren tetap memegang erat sanad keilmuan dan mengajarkan adab di atas segalanya, maka keberkahan akan selalu menyertai langkahnya.
Pondok pesantren bukan sekadar tempat belajar kitab, melainkan ladang menanam nilai kehidupan. Dari pesantren, kita belajar bahwa ilmu tanpa adab adalah kesombongan, dan adab tanpa ilmu adalah kebodohan. Pesantren menyatukan keduanya dalam harmoni keberkahan.
Keberlangsungan pesantren berarti keberlanjutan peradaban Islam di Indonesia. Sanad keilmuan yang dijaga para kiai adalah jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan selama para santri terus meneladani adab serta akhlak gurunya, maka pesantren akan terus menjadi sumber cahaya — menerangi bangsa di tengah gelapnya zaman.
Penulis: Rizal Syarifuddin – Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Makassar Al-Gazali dan Kandidat Doktor Teknik Industri UII Yogyakarta