HARIANSULSEL.COM – Peringatan Maulid sebagai bagian dari syiar Islam juga dapat dilihat dari perspektif kebudayaan, yakni adat dan tradisi masyarakat yang selain mereka mentradisikan hiasan telur, juga ada hiasan pohon pisang.
Pohon pisang yang padanya ditancapkan telur saat maulid, memiliki makna filosofi merujuk pada firman Allah, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak… perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pula) kematangannya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-An’am/6: 99).
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Tuhanmu telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,… perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu mengingatnya. (QS. Ibrahim/14: 24-25).
Al-Qur’an kemudian menyebutkan bahwa pisang sebagai salah satu buah-buahan surga, berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon-pohon pisang yang bersusun-susun buahnya, ares (nya) yang tercurah, buah-buahan banyak tanpa putus.. (QS. al-Waqi’ah/56: 28-31).
Demikian firman Allah yang menggambarkan bahwa pohon pisang harus dijadikan ibrah pada momen maulid. Ayat tersebut pada klausa Wa Thalhin Mandhuudin (pohon pisang bersusun) sistemik sebagai melahirkan tunas-tunasnya. Demikian kenyatannya bahwa pohon pisang tidak mati sebelum bertunas, memberi gambaran yang baik mengenai alih generasi.
Maulid selain mengenang hari lahir Nabi saw juga hari wafatnya yang sepeninggalnya muncul tunas-tunas generasi sahabat berilian yang secara filosofis pohon pisang telah mengajarkan secara simbolik kepada manusia agar menyiapkan kaderisasi sebagai bentuk regenerasi untuk kelanjutan dakwah risalah kenabian.
Pada pohon pisang ada daun-daun, itu bagian dari tunas-tunas generasi yang diharapkan mengayomi karena daun identik dengan wadah pengalas dan dijadikan penutup atau pembungkus makanan saat maulid bagaikan payung, diharapkan kepada kita untuk mampu menjadi panyung, memanyungi umat.
Daun pisang yang sudah digunakan dan mengering, atau tangkai daun yang sudah kering dapat pula dimanfaatkan manusia sebagai bahan bakar disimbolkan sebagai pemicu bagi bahan bakar kayu yang lebih kuat. Ini semua dimaknakan sebagai pemberi energi kehidupan, pemberi semangat bagi manusia untuk menjalani kehidupan seperti yang dialami oleh Nabi saw yang diperingati maulidnya ini.
Batang pisang yang bentuknya berserat-serat panjang itu, dimanfaatkan manusia menjadi tali-temali yang dipintal, dan sebagian lagi ada digunakan sebagai pita-pita untuk bahan anyaman menjadi benda-benda pakai seperti tas, dompet, sarung bantal kursi dan lain-lain sebagai simbolisasi agar kita bermanfaat dan mampu memberi manfaat.
Bahkan batang pisang yang sudah lapuk pun dijadikan sebagai penyubur tanah pertanian. Ini semua menggambarkan agar melalui maulid, manusia mampu menjadirikan dirinya bermanfaat untuk sesamanya dan untuk makhluk lain. Hadis Nabi saw, khaerun nas anfa’ahum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat terhadap sesamanya.
Dengan maulid Nabi Saw, mari kita mengambil hikmah dan manfaat sebanyak-banyaknya, mengenang jati diri kita bagai pohon pisang, pohon bidara yang tidak berduri (QS. al-Waqi’ah/56: 28), tidak menjadi sampah dan benalu di tengah-tengah masyarakat. Amiiin…!
Wallahu A’lam.
Penulis: Mahmud Suyuti, Dosen Ilmu Hadis Universitas Islam Makassar, Komisioner Baznas Sulsel, Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sulsel