Ini Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Causa Wakil Presiden Jusuf Kalla di UIN Alauddin

HARIANSULSEL.COM – Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) menyampaikan pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa (HC) di Bidang Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, pada 25 Januari 2018 bertempat di Gedung Auditorium Kampus II UIN Alauddin, Jalan HM Yasin Limpo, Samata, Gowa. Dalam pidato tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenakan baju toga biru khas Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar.
Jusuf Kalla menyampaikan pidato yang bertema Kajian Perdamaian: Perspektif Agama, Ekonomi dan Politik, tampak hadir Menteri Agama Republik Indonesia Lukam Hakim Saifuddin, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Nu’mang berikut pidato lengkap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dibacakan dihadapan anggota senat UIN Alauddin Makassar:
KAJIAN PERDAMAIAN: PERSPEKTIF AGAMA, EKONOMI DAN POLITIK
Yth Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Ketua Senat Universitas, para guru besar dan dosen, mahasiswa/i, dan hadirin-hadirat yang berbahagia;
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT yang telah mengaruniai kita semua dengan nikmat iman, Islam dan ihsan. Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW atas segala petunjuk yang telah beliau sampaikankan kepada umat manusia lebih 14 abad lalu. Semoga kita semua selalu berada dalam petunjukNya dan syafaatNya.
Kemudian saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Rektor UIN Makassar, Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, MSi dan Senat Universitas yang memutuskan penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) pada saya. Terimakasih wa bil khusus kepada Promotor Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si, dan kedua ko-promotor Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, MA dan Prof Hamdan Juhannis, MA, PhD. Semoga penganugerahan gelar Dr HC kepada saya dalam bidang Sosiologi Agama, khususnya tentang perdamaian dalam perspektif agama, ekonomi dan politik dapat mendorong meningkatkan usaha menciptakan perdamaian dalam berbagai level kehidupan sejak dari lokal, nasional, regional sampai internasional lebih luas. 
Saya senang berbicara tentang perdamaian dengan mengatasi konflik dan kekerasan guna menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi. Berdasarkan pengalaman pribadi secara langsung dalam mengakhiri konflik di Ambon, Poso dan Aceh, saya dapat memberikan refleksi tentang bagaimana menciptakan perdamaian (crafting peace). Membangun perdamaian adalah ‘seni’ yang bersumber dari ketekunan, kegigihan dan keahlian.
Terganggunya Perdamaian: Sumber Konflik
Gangguan terhadap perdamaian dan harmoni di kalangan masyarakat, kelompok etnis, intra dan antar umat beragama disebabkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Secara internal di sebuah negara atau daerah negara tersebut, faktor-faktor itu lebih banyak terkait dengan ekonomi, politik, dan sosial-budaya daripada agama semata-mata. Faktor-faktor penyebab konflik, kekerasan dan perang berkombinasi satu sama lain membuat terganggunya perdamaian dan harmoni dalam negara atau daerah tertentu. Faktor agama sering datang belakangan dijadikan justifikasi atas konflik dan kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Pada zaman sekarang, hampir tidak ada konflik yang murni bersumber dari agama.
Negara yang sangat heterogen plural, bhinneka atau majemuk dalam berbagai aspek kehidupan seperti suku bangsa atau etnisitas, agama, sosial-budaya dan bahasa seperti Indonesia mengandung banyak potensi kerawanan. Kerawanan yang dihadapi Indonesia jelas jauh lebih besar bagi munculnya konflik dibandingkan negara yang homogen dalam kehidupan para warganya.
Karena itulah kemajemukan dan kebhinnekaan Indonesia harus disikapi secara arif dan bijaksana. Bangsa Indonesia patut bersyukur karena walaupun Indonesia penuh dengan keragaman dan kebhinnekaan, tetapi tradisi kerukunan dan kedamaian merupakan salah satu distingsi wilayah ini sejak waktu lama. Sepanjang sejarahnya, Indonesia tidak pernah mengalami konflik, kekerasan atau perang yang berlangsung lama dan luas.
Tidak kurang penting, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengakui kemajemukan itu secara konstitusional. Pertama-tama adalah dengan Dasar Negara Pancasila yang melalui sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengakodasi kemajemukan agama dan umat beragama. Selanjutnya adalah dalam prinsip ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang berarti ‘keragaman dalam kesatuan’.
Meski demikian, perdamaian dan kedamaian tidak bisa dipandang sebagai telah selesai. Perlu penciptaan kondisi yang kondusif bagi perdamaian dan kedamaian secara terus menerus; pada saat yang sama juga perlu pencegahan konflik dan kekerasan secara berkesinambungan. Apalagi perubahan yang terus berlangsung dalam kehidupan bangsa dapat menciptakan gangguan terhadap perdamaian, kedamaian dan harmoni di antara berbagai kelompok warga.
Gangguan terhadap perdamaian, kedamaian dan harmoni di Indonesia juga bisa muncul karena perkembangan global. Berbagai gagasan dan gerakan radikal bersifat transnasional dengan cepat dan luas menyebar di Indonesia. Gagasan dan gerakan transnasional dengan segera pula menimbulkan ketegangan, konflik dan kekerasan di tanah air kita. Tidak jarang paham dan gerakan transnasional itu bersifat dan bertujuan politik—membentuk negara semacam daulah Islamiyah atau khilafah—atas dasar konsep keagamaan mereka sendiri.
Konflik politik dan ekonomi di antara negara juga merupakan sumber konflik yang menimbulkan gangguan terhadap perdamaian dan kedamaian. Dominasi dan hegemoni suatu negara (dan aliansi dan koalisi negara-negara) terhadap negara lain menimbulkan ketegangan, konflik dan bahkan perang seperti bisa disaksikan di Timur Tengah dan Asia Selatan dalam waktu yang sudah lama sampai sekarang.
Selain itu, hubungan internasional yang tidak adil seperti tercermin dalam lembaga-lembaga internasional seperti PBB juga menjadi sumber ketegangan dan konflik yang mengganggu perdamaian dan harmoni masyarakat global. Dominasi negara-negara tertentu dalam lembaga-lembaga internasional semacam PBB dengan mengorbankan bangsa atau negara lain—seperti Palestina—menimbulkan ketegangan dan konflik di tingkat internasional yang kemudian mengimbas ke negara tertentu.
Menghadapi berbagai tantangan dan gejala konflik yang terus meningkat di bagian tertentu dunia, Indonesia yang damai, stabil dengan ekonominya yang terus bertumbuh berusaha memainkan peran lebih besar untuk menciptakan perdamaian. Indonesia kini termasuk berada di garis terdepan dalam usaha mewujudkan perdamaian di Palestina dan di Myanmar— menyangkut etnis Rohingya.
Agama Bukan Sumber Konflik
Sementara kalangan berpendapat, agama adalah sumber konflik dan kekerasan yang mengancam perdamaian dan kedamaian. Memang terdapat kelompok yang atas nama agama melakukan tindakan kekerasan dan terorisme di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tetapi orang-orang atau kelompok seperti ini tidaklah representasi umat beragama secara keseluruhan; mereka hanyalah segelintir orang yang menggunakan agama untuk menjustifikasi konflik dan kekerasan yang tidak bisa dibenarkan.
Sering terbukti bahwa pelaku kekerasan atas nama agama tersebut bukanlah orang atau kelompok yang dikenal sebagai pengamal agama yang taat. Banyak di antara mereka juga tidak memahami agama dengan benar. Dengan melakukan kekerasan, mereka seolah ‘menemukan’ agama kembali.
Oleh karena itulah saya meyakini bahwa agama bukan sumber konflik dan kekerasan. Semua agama sangat menekankan ajaran tentang perdamaian dan kedamaian. Misalnya Islam yang namanya saja berarti ‘damai’. Islam datang adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, seperti ditegaskan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, ‘wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin’—tidaklah Kami mengutus engkau [Muhammad] kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Surah al-Anbiya 107). Jadi tegas dan jelas, Islam datang bukan untuk menciptakan konflik dan kekerasan.
Dalam berbagai upaya saya di lapangan untuk mengatasi konflik dan kekerasan guna menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi, saya menemukan bahwa agama, atau ajaran tertentu dari agama, telah disalahartikan dan disalahgunakan (used and abused). Penyalahgunaan agama itu sering terkait dengan kepentingan politik, ekonomi dan kontestasi lain di antara kelompok masyarakat atau komunitas berbeda.
Dalam pertemuan-pertemuan massal dan terbatas di antara pihak-pihak yang terlibat pertikaian, konflik dan kekerasan, saya berulang kali menyatakan kepada para pemimpin agama dari agama-agama yang berbeda, bahwa para masing-masing pemimpin kelompok kekerasan telah menjual surga dengan harga murah. Ini mereka lakukan dengan memerintahkan orang-orang dalam kelompoknya untuk membunuh musuh-musuh mereka karena dengan begitu mereka disebut akan masuk surga. Tambahan lagi, jika mereka tewas oleh musuh-musuh mereka, maka mereka pun juga dinyatakan masuk surga.
Para pemimpin agama tersebut tercengang ketika saya tegaskan, bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu (pembunuhan), mereka tidak akan masuk surga. Mereka sebaliknya mungkin masuk neraka. Dengan pernyataan saya itu, para pemimpin kelompok yang bertikai akhirnya bersedia menghentikan konflik dan kekerasan. Dan sebaliknya bersama-sama berupaya mewujudkan perdamaian dan kedamaian serta melakukan rekonsiliasi.
Di sinilah peran para pemimpin agama kembali menjadi sangat penting. Mereka sepatutnya terus menerus menyampaikan ajaran dan pesan kedamaian agama kepada umat masing-masing. Sebaliknya menghindari diri dari penyebaran paham keagamaan yang dapat menimbulkan pertikaian, konflik dan kekerasan baik intra maupun antar agama.
Oleh karena itu perlu penguatan pemahaman dan praktek agama yang inklusif, toleran dan harmoni. Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas penduduk Indonesia memiliki tradisi Islam wasathiyah, yaitu Islam jalan tengah, yang tidak ekstrim ke kiri atau ke kanan, yang tidak mudah terjerumus ke dalam aksi kekerasan. Sebaliknya, Islam wasathiyah mengajarkan sikap tawasuth (tengah), tawazun (seimbang), dan ta’adul (adil). Islam wasathiyah seperti inilah yang sangat sesuai dengan Indonesia yang bhinneka dan majemuk. Pemahaman dan pengamalan Islam wasathiyah ini perlu diperkuat terus menerus baik oleh para pemimpin ormas, tokoh masyarakat dan juga oleh pejabat pemerintah.  
Ekonomi: Kepincangan dan Ketidakadilan
Berbagai kajian ilmiah-akademis menyimpulkan, konflik, kekerasan dan perang banyak terkait dengan masalah ekonomi. Penelitian-penelitian yang dilakukan banyak ahli menegaskan, kepincangan dan ketidakadilan ekonomi di antara kelompok warga merupakan salah satu faktor utama konflik dan kekerasan. Pengangguran dan kemiskinan yang dialami sebagian warga membuat mereka jauh dari sejahtera; sebaliknya hidup dalam kesengsaraan dan kenestapaan.
Orang-orang atau kelompok masyarakat yang mengalami kepincangan dan ketidakadilan ekonomi termasuk salah satu kelompok paling rawan bagi tumbuhnya radikalisme yang mengakibatkan konflik dan kekerasan. Perdamaian, kedamaian dan harmoni menghadapi tantangan serius jika masih banyak warga atau kelompok masyarakat yang menganggur dan miskin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Oleh karena itulah pengembangan pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berimbang sangat esensial untuk penciptaan perdamaian, kedamaian dan harmoni. Pertumbuhan ekonomi harus disertai pemerataan untuk memperbaiki kehidupan mereka yang miskin atau menganggur.
Pengembangan ekonomi yang berkeadilan dan berkesimbangan mestilah mencakup berbagai tingkatan: antara satu daerah dengan daerah lain; antara kota dan desa; antara bagian tertentu kota dengan bagian lain kota; antara bagian pedesaan dengan bagian lain desa. Keadilan dan keseimbangan ekonomi itu mesti pula mencakup antara satu golongan masyarakat dengan golongan masyarakat lain, satu kelompok etnis dengan kelompok etnis lain; antara kelompok pendatang (migran) dengan penduduk lokal (asli).
Ketidakseimbangan dan ketidakadilan di antara berbagai tingkatan atau bagian masyarakat itu, sekali lagi, dapat menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi kekerasan—menghancurkan perdamaian, kedamaian dan harmoni.
Pengembangan ekonomi yang seimbang, merata dan berkeadilan harus diupayakan secara terus menerus, baik oleh pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat sendiri. Melalui kerjasama yang komprehensif dan programatis di antara ketiga pihak ini, keadilan dan keseimbangan ekonomi dan kesejahteraan di antara warga dapat berhasil lebih baik.
Politik: Winners Take All
Politik juga merupakan salah satu faktor utama timbulnya konflik dan kekerasan yang mengganggu perdamaian, kedamaian dan harmoni. Oleh karena itu, dinamika dan perkembangan politik yang ada harus dicermati dan dikembangkan untuk memperkuat perdamaian, kedamaian dan harmoni di antara berbagai aspirasi dan kekuatan politik yang ada.
Dinamika dan perkembangan politik yang dapat menimbulkan konflik dan kekerasan adalah jika tidak ada pembagian kekuasaan yang adil (fair power sharing). Jika proses politik yang ada menghasilkan ‘pemenang yang mengambil semua kekuasaan’ (winners take all), bisa dipastikan konflik dan kekerasan dapat muncul sewaktu-waktu, yang sering disebabkan pemicu (trigger) yang sering remeh temeh.
Oleh karena itu, dalam demokrasi sekalipun di mana pihak mayoritas dapat memenangkan Pemilu, pembagian kekuasaan tetap sangat mutlak. Pemenang sepatutnya tidak memborong semua kekuasaan atau semua posisi dalam birokrasi pemerintahan untuk mereka sendiri. Pemenang harus menganut sikap inklusi politik (political inclusion), yaitu dengan menyertakan pihak yang kalah dalam kekuasaan. Hanya dengan pembagian kekuasaan yang adil dan berimbang, kohesi dan keutuhan sosial-politik dapat dipertahankan dan diperkuat.
Selain itu, perlu pula dicermati proses politik untuk memenangkan Pemilu dan kekuasaan. Setiap pemimpin dan elit politik beserta partai masing-masing semestinya menghindari dan menahan diri dari penggunaan isu atau tema yang bersifat memecah belah (divisive). Di negeri kita isu semacam itu disebut SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-golongan). Memang, soal SARA ini bersifat primordial atau lumrah saja. Namun, mengeksploitasi isu SARA dalam politik dapat menimbulkan konflik dan kekerasan bukan hanya di antara kekuatan politik yang ada, tetapi juga di antara berbagai kelompok warga, termasuk umat beragama.
Selanjutnya, pertikaian politik yang terjadi di antara elit politik dan partai mesti diselesaikan dengan cara-cara demokratis dan damai. Bukan tidak sering, pertikaian di antara elit politik dan partai dengan segera menyebar ke tingkat warga akar rumput yang dengan cepat pula dapat berujung pada konflik dan kekerasan.
Konflik dan Penciptaan Perdamaian di Dunia Islam  
Dengan prihatin kita juga perlu menyinggung ketegangan dan konflik yang terjadi di banyak bagian Dunia Islam. Perdamaian, kedamaian dan harmoni masih jauh. Konflik dan kekerasan seolah tidak pernah berhenti; dan bahkan cenderung terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.  
Di negara-negara Arab, kekerasan, terorisme dan perang yang mengorbankan banyak nyawa dan harta benda masih berlanjut di Iraq dan Syria. Sedangkan di Yaman, perang saudara juga terus berlangsung antara pihak pemerintah yang didukung koalisi militer Arab Saudi melawan kaum Hauthi.  
Aliansi Arab Saudi juga terlibat ketegangan dengan Qatar yang didukung Turki dan Iran. Belum terlihat tanda-tanda peredaan ketegangan dan penciptaan perdamaian dan rekonsiliasi di antara kedua belah pihak.
Kekerasan dan terorisme juga terus berlanjut di Mesir, Libya dan Tunisia. Gelombang demokrasi yang disebut sebagai ‘Arab Spring’ di negara-negara ini sejak akhir 2011 dan awal 2012 malah merebak menjadi konflik; demokrasi tidak bisa berkembang dengan baik di kawasan ini.
Sementara itu, kekerasan juga meningkat di Palestina (Tepi Barat dan Gaza). Apalagi setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyatakan secara sepihak Yerusalem sebagai ibukota Israel dan berencana memindahkan Kedutaan Besarnya ke kota ini. Sementara itu, Israel terus menganeksasi wilayah Palestina dan membangun pemukiman illegal. 
Dalam pada itu, kekerasan juga terus berlanjut Afghanistan. Pemerintah Afghanistan sendiri belum mampu menghentikan kekerasan dan menciptakan perdamaian.
Kekerasan juga terus berlangsung di beberapa negara Asia Tenggara di mana kaum Muslimin menjadi minoritas. Keadaan ini bisa disaksikan di Myanmar (Rohingya), Thailand Selatan (Melayu Patani), dan Filipina Selatan (bangsa Moro).
Bagaimana peran Indonesia dalam berusaha memediasi pihak-pihak bertikai di antara negara-negara tersebut dan berusaha menciptakan perdamaian?
Pemerintah Indonesia secara keseluruhan sesuai amanat pembukaan UUD 1945 telah berusaha membantu penyelesaian konflik guna menciptakan perdamaian. Saya sendiri, sejak 2012 sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) berusaha membantu penyelesaian konflik dan kekerasan di antara pemerintah Myanmar dan kaum Muslim Rohingya. Dengan pendekatan dan ‘diplomasi sarung’ (sarong diplomacy), Indonesia menjadi satu-satunya negara yang diterima pemerintah Myanmar untuk membantu kaum Muslim Rohingya. Ketika kekerasan di antara kedua belah pihak meledak kembali terjadi akhir 2016 dan 2017, saya sebagai Wakil Presiden mengkordinasikan upaya perdamaian dan bantuan untuk kaum Muslimin Rohingya.
Dalam pada itu, dalam berbagai pertemuan/Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) seperti Sidang Umum PBB dan OKI, saya juga menegaskan tentang perlunya upaya serius berbagai pihak untuk mengakhiri konflik di negara-negara tadi. Tetapi, keadaannya belum juga membaik; konflik dan kekerasan terus berlanjut karena tidak ada pihak yang mau berdamai.
Dalam kaitan itulah Indonesia selalu berusaha berdiri di depan untuk penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian. Dengan politik dan keamanan yang stabil yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi (steady economic growth), Indonesia mempunyai bobot dan daya tekan (leverage) yang kuat untuk memainkan peran sebagai pendamai. Apalagi Indonesia tidak memiliki kepentingan geo-politik dan geo-ekonomi dengan negara-negara itu. Oleh karena itulah Indonesia dapat diterima berbagai pihak dalam usaha mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian. Karena itu pulalah Indonesia sering diminta kepala negara dan pihak-pihak lain, seperti Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, untuk membantu penciptaan perdamaian di negaranya masing-masing.
Seni Perdamaian
Berdasarkan pengalaman langsung saya dalam menyelesaikan konflik dan menciptakan perdamaian baik di dalam negeri seperti di Ambon, Poso dan Aceh, dan luar negeri misalnya di Thailand Selatan dan Palestina, saya percaya bahwa membuat perdamaian (peace making) adalah sebuah ‘seni’ (craft). Dalam pengalaman dan refleksi saya, mengakhiri konflik dan kekerasan untuk menciptakan perdamaian harus dan dapat dibangun (crafted) sebagai berikut:
*Memiliki Pengetahuan Mendalam tentang Pihak-pihak yang Terlibat Konflik. Setiap pihak yang ingin menciptakan perdamaian (peace maker) harus memiliki pengetahuan komprehensif dan mendalam tentang berbagai aspek yang ada pada masing-masing pihak. Pengetahuan mendalam itu tidak hanya tentang konflik itu sendiri, tetapi juga tentang sejarah, agama, sosial-budaya, tradisi dan sensitivitas masing-masing pihak yang bertikai. Selain itu, dia juga perlu mengetahui sepenuhnya tentang para pimpinan dan kelompok masing-masing pihak bertikai. Tanpa pengetahuan mendalam tentang semua hal yang disebutkan tadi, maka hampir tidak mungkin bagi peace maker untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian.
*Memperkuat Keberanian Moral: Mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi adalah tindakan berani (courageous act). Orang-orang yang berjuang keras dan sungguh-sungguh untuk mencapai kepentingan dan tujuan ini adalah orang-orang berani. Pencipta perdamaian harus mendorong para pemimpin dari berbagai pihak yang terlibat konflik untuk membangun dan memperkuat keberanian moral mereka sehingga mereka dapat mengakhiri konflik dan membangun perdamaian dan rekonsiliasi.
*Membangun Sikap Saling Percaya (Trust): Setiap penciptaan perdamaian harus dimulai dengan membangun rasa percaya dari pihak-pihak yang bertikai. Tanpa adanya saling percaya di antara pencipta perdamaian dengan pihak-pihak yang bertikai, sulit sekali mengakhiri konflik dan kekerasan untuk menciptakan perdamaian, kedamaian dan rekonsiliasi.
*Menyatukan Pihak Bertikai: Dalam banyak kasus konflik, setiap pihak dari terlibat konflik dapat terpecah belah menjadi faksi-faksi yang memiliki pandangan dan sikap berbeda-beda. Jika keadaan ini tidak diatasi, sulit sekali untuk mencapai kata sepakat di antara mereka tentang bagaimana mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian. Karena itu, pencipta perdamaian harus melakukan usaha keras untuk membangun kata sepakat dan menyatukan faksi-faksi tersebut.
*Membatasi Keterpaparan: Perdamaian bisa diciptakan hanya ketika hal-hal yang dibicarakan dan dinegosiasikan tidak terpapar kepada publik secara luas. Pemaparan kepada publik harus dilakukan hanya setelah persetujuan final di antara pihak-pihak bertikai telah tercapai. Pencipta perdamaian harus berusaha mencegah terjadinya keterpaparan pada publik tentang pertemuan, pembicaraan, dan negosiasi di antara pihak-pihak yang bertikai.
*Menghormati Martabat (Dignity): Perdamaian dapat diciptakan hanya ketika mereka yang terlibat dalam konflik tidak ‘kehilangan muka’ (loosing face). Oleh karena itu, penting bagi pencipta perdamaian untuk menjamin martabat, harkat dan harga diri pihak-pihak yang bertikai. Hanya dengan menghormati martabat dan harkat mereka, konflik diakhiri dan perdamaian diciptakan.
Penutup
Dunia kita dewasa ini masih penuh dengan konflik dan kekerasan. Bahkan terdapat kecenderungan kuat, konflik dan kekerasan itu kian merajarela di banyak bagian dunia.
Fenomena ini merupakan tantangan terbesar dan terberat kita untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian. Dengan demikian, penciptaan perdamaian bukanlah tugas mudah. Oleh karena itu, kita perlu memperkuat komitmen kita pada perdamaian, kedamaian dan harmoni sehingga kita dapat memiliki dunia yang lebih damai dan lebih baik.
Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan dan keteguhan hati dan usaha untuk membangun perdamaian.
M. Jusuf Kalla

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *