Corona dan Tergugatnya Tradisi

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Pada akhirnya kehidupan lebih penting dari segalanya. Apapun yang manusia lakoni untuk bisa bertahan hidup, melakukan hal yang tersulit, menyiksa diri seberat-beratnya demi mempertahankan kehidupannya.

Lihatlah ‘upload’an gambar setelah virus corona mewabah, orang bisa memasukkan dirinya dalam ‘aquarium’ plastik, membungkus kepalanya dengan apa saja supaya tidak terpapar, mengurung diri untuk tidak bersosialisasi sampai adanya kiriman gambar lucu-lucuan karena begitu susahnya mendapatkan masker, pempers atau softex pun yang dijadikan masker.

Dengan segala upaya mempertahankan hidup, konsep tentang kehidupan terevisi. Sekiranya saya bertanya kepada anda, andai wabah virus ini harus menyisakan satu orang hidup, anda pasti akan memilih untuk hidup, meskipun sendiri. Tapi sebagai makhluk sosial, apa artinya kehidupan itu tanpa orang lain? Itu adalah pertanyaan yang harus dihadapi kemudian, yang penting tetap bisa hidup.

Satu hal yang tergugat dengan kepastian secara resmi bahwa virus ini sdh menjangkiti orang di Indonesia adalah: Tradisi. Tradisi itu kebiasaan yang membentuk cara pandang. tradisi adalah kesepakatan tentang kemuliaan. Tradisi membentuk kesadaran kolektifitas.

Tapi setelah disadari bahwa penyebaran virus ini dari kontak fisik, tradisi baik dalam hubungan sosial sudah mulai diabaikan. Sejak kemarin sudah begitu banyak seruan untuk merubah pola hubungan sosial. Ada ajakan untuk menghindari berjabat tangan apalagi cipika-cipiki, cukup memakai jabat jarak jauh saja. Sampai ada kiriman video berjabat kaki dengan cara saling menyentuhkan kaki secara bersilang.

Bisakah anda untuk tidak berjabat tangan di ruang publik? Bisakah anda menghentikan tradisi pengakraban ini yang sudah dipraktekkan oleh nenek moyang kita, sampai kita saja tidak pernah tahu kapan tradisi ini mulai dicetuskan saking lamanya? Bisakah anda menyuruh orang lain untuk cuci tangan terlebih dahulu sebelum jabat tangan. Anda bisa memohon maaf pada orang tertentu untuk tidak jabat tangan, tapi yakinkah anda bisa selalu tega menolak uluran tangan seseorang yang setiap saat datang?

Anda bisa memakai ‘handscoon’ dalam berjabat tangan, tapi kuatkah kita memakainya pada kegiatan bukan di lab atau di praktek medis? Atau anda membelakangi atau mengabaikan orang yang mau berjabat tangan, karena kedua pilihan di atas sama saja memiliki efek ketidaknyamanan sosial?

Saya tahu ada yang bisa, dan pernah saya melihat situasi seperti itu. Anda jadi raja saja, dan setiap berjalan dikelilingi oleh pengawal yang tidak bisa tersentuh oleh rakyat, karena di kerajaan anda ada aturan rakyat tidak boleh menyentuh raja.

Mungkin anda mengira saya membuat cerita fiktif tentang kebiasaan tak tersentuh seperti itu karena anda bukan raja. Kalaupun jadi raja pasti anda akan mencitrakan diri sebagai raja merakyat.

Poin saya, tradisi kemuliaan tergugat dengan hadirnya virus yang mengancam kehidupan. Saya tidak habis pikir bagaimana caranya saya tidak berjabat tangan dengan orang. Mungkin saya bisa, hidup seperti orang gila yang membuat orang lain menjauh. Atau menjadi pribadi ‘asosial’ untuk menghindari kontak dengan orang lain. Tapi pikiran inipun teasa lebih berat dari melakukan jabat tangan, belum lagi efek moral yang ditimbulkannya.

Atau kita menunggu edaran pemerintah untuk menghentikan sementara tradisi jabat tangan? Tentu tidak mungkin karena tradisi harus dihentikan oleh tradisi. Tradisi lama bisa dihentikan oleh sesuatu yang juga sudah mentradisi, tidak mungkin dihentikan dengan seruan atau edaran.

Kita perlu prihatin dengan paparan virus ini, tapi kita juga perlu sadar bahwa sesuatu yang hidup dan disepakati sebagai kemuliaan, tidak harus dimatikan karena ancaman kehidupan. Virus ini lahir bukan karena kelalaian tradisi. Virus ini bukan berasal dari bangsa kita dan karenanya bukan khas kita. Kita hanya kena dampak. Tugas kita mencari cara terbaik untuk menutup ruang dampak itu. Bukan latah mematikan tradisi baik yang selama ini ‘menghidupkan’ kita. Kalau kita diminta selalu cuci tangan untuk mensterilkn diri, ayo mari kita cuci tangan semua, toh yang bejabat tangan itu adalah semua sudah cuci tangan. Lagi pula, kita masyarakat yang memang sangat rajin cuci tangan, paling tidak 5 kali sehari sebelum beribadah, dan 3 kali sehari bagi yang makan pakai tangan. Artinya, kita sebenarnya dibentuk oleh tradisi untuk menangkal virus. So, Don’t Panic! Kata group music, Coldplay.

Oleh: Hamdan Juhannis – Rektor UIN Alauddin Makassar, Ketua PW LPTNU Sulsel dan saat ini tercatat sebagai Guru besar bidang Sosiologi Pendidikan

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *