HARIANSULSEL.COM, Makassar – Pada saat Nabi Musa dan Nabi Harun di perintahkan oleh Allah swt untuk bertemu dengan Fir’aun agar bersikap baik dan berkata lemah lembut kepada Fir’aun, hal ini di abadikan dalam Al-Quran Surat Taha ayat 44 “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan lemah lebut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut”. Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sesungguhnya dakwah Nabi Musa dan Nabi Harun menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lemah lembut dan ramah. Supaya lebih menyentuh dalam hati, lebih mudah diterima dan berfaedah.
Dalam Nahdlatul Ulama, Toleransi dikenal dengan Tasamuh memiliki makna menghargai perbedaan serta menghormati kepada orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama, bukan berarti kita harus mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang di yakin. Konsep toleransi dalam islam merupakan konsep dimana saling menghargai perbedaan antar sesama manusia dengan dibatasai oleh norma agama, batasan toleransi tersebut tidak memasuki urusan atau wilayah keagamaan dari masih-masing pemeluk agama atau tidak mencampurkan ibadah.
Perbedaan merupakan sunnatullah Al Quran memberikan kita pesan dalam surah Al Hujarat ayat 13 “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”. Ayat ini sangat jelas hak asasi lahiriah seorang manusia itu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, mengubah jenis kelaminnya merupakan penentangan terhadap sunnatullah, kemudia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, saling membantu satu sama lain, tidak saling mengolok-olok dan tidak saling memusuhi antar kelompok. Kemudian ayat ini di tutup dengan “…. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah swt adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lahi maha teliti”.
Tasamuh dalam perspektif negara, tidak melakukan diskriminasi apapun meskipun itu berbeda. Perbedaan dalam perspektif negara tidak melakukan persamaan apapun dalam perbedaan dengan kata lain yang beda tidak bisa disamakan, sesuai dengan perintah konstitusi UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Jadi Keyakinan dan kepercayaan merupakan hak asasi yang dilindungi di oleh negara. “Al-yaqinu la yuzalu bi syak” keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Untuk itulah perbedaan keyakinan dan kepercayaan dalam ekosistem bernegara Nahdlatul Ulama menyebutkan sebagai Ukhuwah Wathaniah (Persaudaraan sesama anak bangsa) yang merupakan konsep persaudaraan dalam islam, begitu pula dengan perbedaan keyakinan dan kepercayaan tidak bisa disamakan maka menghadapinya dengan sikap Tasamuh menghormati perbedaan itu dengan lemah lembut, seperti perintah Allah swt kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berlemah lembut kepada seorang Fir’aun. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis: Rizal Syarifuddin – Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Makassar, Kandidat Doktor pada Program Studi Rekayasa Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia