Akademisi: Bahaya Jika Pemimpin Inkonsisten

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Prinsip “Taro Ada Taro Gau” yang ditanamkan para leluhur Bugis-Makassar, sejatinya tetap menjadi pegangan kita, khususnya bagi pemimpin dan calon pemimpin.
Karakter dan prinsip yang ditanamkan tak boleh diabaikan begitu saja hanya karena ambisi. Sebab lagi-lagi, para pendahulu selalu menekankan, bahwa salah satu yang membedakan manusia dan binatang adalah sikap. Manusia kata-katanya dipegang, dan binatang hanya talinya.
Jika pemimpin dan calon pemimpin tak mampu memegang kata-katanya, maka patut untuk dipertanyakan. Sangat beresiko jika sikapnya inkonsisten atau “plin-plan”. Lain di mulut, lain di tindakan.
Akademisi UIN Alauddin Makassar, Syahrir Karim mengurai tentang kepemimpinan. Menurutnya, pemimpin yang suka “plin-plan” dalam bersikap bisa mempengaruhi efektifitas kepemimpinan. Belum lagi jika seorang pemimpin tak patuh pada pendiriannya.
“Orang bugis bilang ‘taro ada taro gau’. Pemimpin yang tidak konsisten bukanlah pemimpin yang baik. Bahayanya adalah, pemimpin seperti ini, visi pembangunanya tidak jelas,” kata Syahrir, kepada wartawan, Rabu (11/10/2017).
Pemimpin yang tidak konsisten juga sulit terhindar dari kehilangan kepercayaan. Begitu pun, pemimpin yang suka plin-plan, biasanya dimiliki oleh mereka yang tidak tahu membedakan antara kepentingan kelompok atau publik dengan kepentingan pribadi.
Pandangan sama ditegaskan Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Dr Adi Suryadi Culla. Saat dihubungi terpisah, akademisi Unhas ini, mengaku sangat beresiko jika pemimpin tidak konsisten. Alasannya hal itu bisa menimbulkan ‘discard’ atau kehilangan kepercayaan.
“Konsistensi yang dimiliki itu sebenarnya bukan berpijak pada kepentingan individu, tapi pada kepentingan umum. Ini bisa menimbulkan kehilangan kepercayaan,” tutur Adi, sapaan akrabnya.
Dia mengatakan, untuk menjadi seorang pemipin, individu harus tahu membedakan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, sehingga dua kepentingan ini tidak harus dicampur adukkan.
Selain itu, lanjutnya, pemimpin secara umum mewakili orang banyak, bukan pribadi. Sehingga untuk mengambil kebijakan atau keputusan harus berdasarkan keinginan orang banyak.
Olehnya, jika pemimpin tidak konsisten, maka dampak yang paling dekat adalah kehilangan arah dalam menyikapi berbagai masalah.
“Dampak yang paling dekat itu jadi gamang, kehilangan rujukan yang menjadi dasar di dalam menyikapi berbagai masalah. Disamping itu juga bisa menyebabkan kepemimpinan bisa berjalan tidak efektif, tidak bisa mengmabil patokan yang jelas di dalam kepemimpinan,” tegasnya.
Apalagi jika dalam kepimpinan birokrasi, sikap inkonsisten akan menimbulkan banyak masalah. Dia menjelaskan, sebenarnya birokrat selalu berbasis edministrasi. Selain itu, kelembagaan birokrasi reverensinya di dalam bersikap dan berprilaku sebagai aparat.
“Karena itu mereka harus menunjukan sikap yang konsisten, karena ada aturan yang menjadi patokan pengambilan keputusan dan kebijakan, itu yang menjadi rujukan adalah sistem birokrasi itu sendiri,” tandasnya.
Sekadar diketahui, perbincangan tentang inkonsistensi kembali marak beberapa hari terakhir. Itu tidak lepas dari sikap yang ditunjukkan salah satu kandidat gubernur, Nurdin Abdullah (NA) yang meninggalkan Tanribali Lamo sebagai pasangannya.
Selain itu, NA diduga banyak memberi pernyataan ke publik yang tidak sesuai kenyataan. Mulai dari awal siap berpasangan dengan TBL, termasuk pernyataan terakhirnya tak punya ambisi. Bahkan, sikap inkonsisten ini kini menjadi perbincangan hangat di grup WA, sosmed, dan di tempat umum. (*)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *