La Galigo: Efeknya PadaTradisi dan Adat Istiadat Bugis

HARIANSULSEL.COM, Makassar – La Galigo bukan hanya sekedar warisan sastra namun juga merupakan nenek moyang berbagai tradisi dan adat istiadat yang masih dipertahankan masyarakat Bugis. Epik ini berakar pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari ritual tradisional, struktur sosial, hingga sistem kepercayaan. Galigo merupakan pedoman yang mengatur hubungan manusia satu sama lain, dengan alam dan dengan dunia spiritual.

Melalui cerita dan simbolisme yang dikandungnya, La Galigo memperkuat identitas masyarakat Bugis dan memberikan legitimasi terhadap adat istiadat yang berlaku. Tradisi-tradisi seperti upacara berjilbab, pernikahan adat, dan prosesi pemakaman seringkali mempunyai referensi yang kuat terhadap peristiwa dan ajaran La Galigo. Hal ini menunjukkan bahwa epik ini bukan sekedar cerita masa lalu, melainkan sebuah landasan yang terus membentuk dan memperkaya budaya Bugis.

Artikel ini menjelaskan peran La Galigo dalam penciptaan tradisi dan adat istiadat Bugis serta bagaimana pengaruhnya masih terasa dalam praktik budaya saat ini. Jika kita memahami konteks ini, kita dapat melihat bahwa La Galigo merupakan cerminan hidup kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan tradisi Bugis.

La Galigo mempunyai pengaruh yang besar dalam berbagai upacara adat masyarakat Bugis. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah upacara berlayar (maccera tappareng) yang terinspirasi dari petualangan Sawerigading dalam epos ini. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghormati dewa laut dan memohon keselamatan dalam setiap pelayaran laut. Tradisi ini mencerminkan cara orang Bugis, yang dikenal sebagai pelaut terampil, menghormati alam dan kekuatan gaib yang menguasai lautan.

Selain itu, ritual pertanian dan kesuburan juga banyak dipengaruhi oleh La Galigo. Di beberapa bagian epos, tokoh utama melakukan upacara untuk memohon kesuburan tanah dan keberkahan tanaman. Ritual ini masih dilestarikan dalam bentuk Mappalili, yaitu ritual memohon berkah kepada dewi padi sebelum dimulainya musim tanam. Galigo memberikan kerangka spiritual yang memperkuat keyakinan masyarakat Bugis terhadap hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Dalam konteks keagamaan, La Galigo juga sering dimasukkan ke dalam upacara-upacara peralihan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian. Simbol dan nasehat dari epos ini digunakan untuk memberi makna sakral dan menjaga keberlangsungan tradisi. Upacara ini menjadi kesaksian nyata bagaimana La Galigo tetap hidup dalam kehidupan spiritual masyarakat Bugis

Galigo juga menggambarkan struktur sosial dan peran kaum bangsawan.
Struktur sosial masyarakat Bugis banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo. Dalam epos ini digambarkan hierarki sosial yang terdiri dari Arung (bangsawan), Toa (tokoh masyarakat) dan Ata (rakyat biasa). Kasta bangsawan berperan penting dalam menjaga ketertiban sosial dan menjalankan masyarakat, sedangkan masyarakat awam berperan sebagai pengikut setia Arung.

Galigo memperkuat legitimasi peran kaum bangsawan sebagai penguasa yang memiliki hubungan spiritual dengan dunia para dewa. Tokoh seperti Batara Guru dan Sawerigading digambarkan sebagai penguasa yang ditugasi oleh para dewa untuk memerintah dan melindungi rakyatnya. Kisah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk sistem pemerintahan tradisional Bugis yang dipimpin oleh seorang Arung (raja atau bangsawan tinggi).

Peran kaum bangsawan di La Galigo juga menyoroti pentingnya bersikap adil dan bijaksana dalam kepemimpinan. Pemimpin yang gagal menjaga keharmonisan atau bertindak sewenang-wenang akan kehilangan legitimasi di mata rakyat. Prinsip ini tetap dihormati oleh masyarakat Bugis dan menjadi landasan dalam menjaga stabilitas sosial. Dengan demikian, La Galigo tidak hanya sekedar cerita sejarah, namun juga memberikan tuntunan moral bagi para pemimpin Bugis hingga saat ini. Ajaran La Galigo juga banyak menggambarkan simbol-simbol pernikahan adat Bugis. Dalam epos ini, pernikahan tokoh utama seperti Sawerigading dan We Cudai digambarkan sebagai peristiwa sakral dengan berbagai ritual. Prosesi pernikahan ini tidak hanya berfungsi sebagai penyatuan dua insan, namun juga sebagai bentuk penyatuan dua keluarga besar dan komunitas.

Selain Mappacci, dalam tradisi Bugis, upacara akad nikah juga sering dibarengi dengan pembacaan nasehat dan petuah terkait sejarah La Galigo. Hal ini menunjukkan bahwa La Galigo tidak hanya memberikan pengaruh dalam prosesi, namun juga menyampaikan nilai-nilai moral yang menentukan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Dengan demikian, La Galigo berperan dalam terciptanya tradisi pernikahan yang penuh makna spiritual dan sosial.

Galigo juga menginspirasi masyarakat Bugis dalam tradisi kematian.
Tradisi kematian masyarakat Bugis juga banyak terinspirasi dari La Galigo. Dalam epik ini, kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan peralihan ke dunia lain. Oleh karena itu, dalam tradisi Bugis, prosesi kematian dilakukan dengan penuh hormat dan ritual yang penuh makna spiritual.

Salah satu prosesi terpenting adalah Mappanre Temme, upacara terakhir untuk menghormati almarhum. Di La Galigo diyakini arwah orang yang meninggal akan kembali ke dunia asalnya, langit atau laut. Oleh karena itu, dalam prosesi ini, masyarakat Bugis melakukan berbagai ritual untuk memastikan arwah orang yang meninggal dapat mencapai tempat yang sesuai dan tidak mengganggu kehidupan orang yang masih hidup.

Simbolisme La Galigo juga tampak dalam tradisi penguburan di laut, yaitu jenazah orang-orang yang dekat dengan laut, seperti pelaut, dibuang ke laut. Tradisi ini terinspirasi dari perjalanan Sawerigading yang sering melintasi lautan untuk mencapai dunia lain. Upacara ini menekankan eratnya hubungan masyarakat Bugis dengan laut sebagai bagian dari siklus hidup dan mati.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa La Galigo memberikan dampak yang besar terhadap tradisi dan adat istiadat masyarakat Bugis, mulai dari upacara adat, struktur sosial hingga prosesi pernikahan dan pemakaman. Epik ini lebih dari sekedar cerita mitologi sederhana; Landasan itulah yang membentuk identitas dan karakter masyarakat Bugis. Dengan melestarikan dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam La Galigo, masyarakat Bugis menjaga keberlangsungan tradisi dan mempererat ikatan dengan warisan nenek moyang. Galigo tidak hanya sekedar simbol budaya, namun juga menjadi pedoman yang masih menentukan dan memperkaya kehidupan masyarakat Bugis saat ini.

Penulis: Zaenuddin Endy – Direktur Pangadereng Institut (PADI)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *