HARIANSULSEL.COM – Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo memberikan materi tentang “Melawan Intoleransi: Tantangan bagi Pengembangan Media Islam Ramah di Indonesia” dihadapan peserta Konsolidasi Nasional Pengelola Media Islam Ramah yang diadakan oleh Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN) atau Lembaga Infokom dan Publikasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bertempat di Blue Sky Pandurata Boutique Hotel, Senin (21/8/2018).
Toleransi adalah sebuah keharusan, tetapi ketika intoleransi atau radikalisme harus dilawan, dengan kekuasaan maka itu sangat berbahaya.
Menurut World Survei 2013 (Berggren dan Nilsoon) terkait posisi Indonesia dalam menyikapi intoleransi, yakni pada tahun 2010 Indonesia cenderung tidak toleran, khususnya terkait kebebasan beragama, bahkan sampai mencapai angka 40 persen.
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo memberikan materi tentang “Melawan Intoleransi: Tantangan bagi Pengembangan Media Islam Ramah di Indonesia” dihadapan peserta Konsolidasi Nasional Pengelola Media Islam Ramah yang diadakan oleh LTNU bertempat di Blue Sky Pandurata Boutique Hotel
Menurutnya, meningkatnya intoleransi dari berbagai negara berakibat atas mundurnya konsolidasi demokrasi.
“Perlawanan intoleransi tidak boleh mencederai prinsip-prinsip demokrasi, ibaratnya intoleransi adalah monster melawannya tidak harus menjadi monster pula, yakni mengabaikan atau menciderai prinsip demokrasi, pemaksaan kekuasaan.”
Pertanyaannya apakah dengan cara mengabaikan prinsip demokrasi, intoleransi tidak bisa kita redam? Jawabanya, intoleransi bisa kita cegah tanpa harus mencelakai proses demokrasi itu sendiri.
Misalnya ketika Negara melawan kelompok intoleransi dengan mengeluarkan Perppu misalnya, tentunya ini bisa dikategorikan melawan intoleransi dengan menggunakan jalan pintas (memakai kekuasaan) dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi, tidak dengan upaya hukum. (And)