Ikhlas dan KH Muhammad As’ad Al-Buqisi (Seri-20)

HARIANSULSEL.COM, Makassar – “Tettemmui agamana Puang Allahu Ta’ala, naissemmuatu aga muapparelluange” artinya Bantulah (mengabdilah kepada) agama Allah, niscaya Dia tahu apa engkau butuhkan!”

Petuah di atas, bukan nasehat Syeikh Al-Palembani, tapi nasehat Al-Alim al-Allamah Anregurutta KH. Muhammad As’ad Al-Buqisi (1907-1952). Ulama tersohor dari Tanah Bugis, Sengkang Kab. Wajo.

Al-Mukarram Anregurutta As’ad adalah cahaya. Sinarnya sangat kuat. Kehadirannya membuat kota Sengkang menjadi terang benderang. Semua mata tertuju kepadanya. Padahal, sebelumnya gelap gulita. Masyarakat larut dalam kemaksiatan. ‘Sesat’ dalam kesyirikan. Berhala di pinggir kota itu tidak terbilang. Mereka terus memohon kepadanya. Menggantungkan semua harapan dan keluh kesahnya. Benar-benar dalam kegelapan.

Cahaya Anregurutta semakin bersinar. Tidak hanya menerangi kota Sengkang, tapi juga kota-kota di sekitarnya. Sejak kedatangannya dari Tanah Haram (Mekkah), pada tahun 1928, aroma keulamaanya menarik perhatian masyarakat luas. Tidak terkecuali para panrita (ulama) saat itu. Semua berbondong-bondong dari berbagai penjuru. Dari Bone, Soppeng, Barru, Pare, Sidrap dan lainya. Mereka datang mengaji tudang (talaqqi) di hadapan Anregurutta. Mengharap secercah berkah darinya.

Adalah Anregurutta KH. Daud Ismail dari Cenrana (Soppeng) dan Anregurutta KH. Ambo Dalle (Wajo) di antara yang datang itu. Keduanya sudah dikenal ulama di masyarakat. Umurnya juga lebih tua dari Al-Mukarram Anregurutta Sade yang saat itu masih berumur 21 tahun.

Tapi, itulah hekekat kerendahan hati (tawaduk). Semakin tinggi ilmunya, semakin merasa tidak tahu. Semakin dalam makrifatnya, semakin merasa faqir di hadapan Allah. Ia terus mencari keberkahan ilmu tanpa memandang umur. Tanpa pernah merasa cukup. Sungguh panutan yang sangat mahal untuk dicontoh.

Berkat ketawaduan dan keikhlasan belajar, tidak lama kemudian keduanya menjelma sulo mattappa (ulama besar) di daerahanya masing-masing. Keduanya dikenal sebagai generasi emas pertama Anregurutta Sade, bersama beberapa ulama yang lain; seperti Anregurutta KH. Yunus Maratan (Sengkang), Anregurutta KH. Abduh Pabbaja (Pare-Pare), Anregurutta Yunus Muin (Sidrap) dan yang lain. Mereka adalah paso’na tanae (paku bumi) tanah Bugis kala itu. Dan berkahnya sampai sekarang meneranagi pelosok nusantara masih sangat kuat, khususnya Indonesia bagian Timur.

Satu kata kunci dari kesukesesan mereka adalah keikhlasan. Keikhlasan dalam mengajar. Keikhlasan dalam belajar. Keikhlasan dalam berdakwah. Itulah hakekat paseng (nasehat) Anregurutta kepada semua muridnya.

“Tettengi agamana Puang Allahu Ta’ala, naissemmuatu agama muapparelluang”.

Dalam konteks dewasa ini, nasehat itu perlu untuk direnungkan sedalam-dalamnya. Oleh semua orang. Apapun profesinya. Guru, pejabat, penceramah dan lain-lain.

Keikhlasan adalah kekuatan. Spirit yang sangat dasar. Dengan spirit itu, yang besar akan terasa kecil. Yang jauh akan terasa dekat. Gunung didaki, lautan disebarangi. Tidak pernah merasa lelah untuk melalukan kebaikan atau mengabdi kepada Allah.

Sebaliknya, kehilangan spirit itu adalah kerapuhan. Banyak tapi sedikit. Masalah kecil terasa sangat besar. Tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada. Bahkan lebih banyak mengeluh daripada membantu. Ini adalah kehampaan.

Mungkin itulah yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan hari ini. Kehilangan pondasi yang sangat dasar. Rapuh dan hampa. Maka, pemerintah, guru, siswa dan orag tua perlu kembali merenovasi pondasi itu. Terus merawat dan menjaganya agar kembali berdiri kokoh. Berdiri di atas nilai kehikhlasan. Bukan di atas kepentingan sesaat.

Caranya memang tidak mudah. Apalagi mencapai derajat keikhlasan Syeikh Al-Busthami. Butuh anugrah dan pertolongan Allah. Namun demikian, tetap harus ada upaya. Mujadahah nafsu dan istiqamah dalam diri. Sebagaimana Said Nursi menganjurkan mengikat keikhlasan dengan dua hal; ingat kematian dan tafakkur Imani.

Karena pada dasarnya, tidak ada nilai amal ibadah tanpa niat, sebagaimana tidak ada arti niat tanpa keikhlasan. Maka keihklasan adalah kunci kesalamatan (kesuskesan)! Kata Said Nursi radiyallahu ‘anhu.

Wallahu A’lam bishsahwab

Dan kepada yamaneng Anregurutta, lahumul FATIHAH.

Penulis: Darlis Dawing – Dosen IAIN Palu

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *