HARIANSULSEL.COM – Tak terasa kita segera kembali dipertemukan dengan Ramadan, bulan yang sangat dinanti oleh umat Islam di seluruh penjuru bumi. Bulan yang sangat diyakini sebagai bulan pembawa keberkahan bagi umat manusia.
Ramadan memiliki beberapa asal-usul penamaan, diantaranya yang disebutkan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, beliau menyebutkan:
ورمضان مِنْ شِدَّةِ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ الْحُرُّ ، يُقَالُ رَمِضَتِ الْفِصَالُ : إِذَا عَطِشَتْ
“Kata Ramadan berasal dari kata (الرَّمْضَاءِ = Al-ramdhaa’) disebabkan kondisi yang sangat panas. Al-ramdhaa’ artinya panas, seperti dalam kalimat “*Ramidhat Al-fishaal*” (Anak-anak unta itu kepanasan jika sedang haus).” [Tafsir Ibnu Katsir: 4/128-129]
Pendapat yang lain menyebutkan Ramadan di ambil dari kata Al-ramdhu (الرمض) yang artinya batu yang panas karena terkena terik matahari. Saat itu kewajiban puasa ketika panas yang sangat terik.
Kedua pendapat diatas, baik Al-ramdhaa’ maupun Al-ramdhu memiliki kedekatan makna yakni kondisi cuaca panas yang menyebabkan panas yang sangat terik.
Pendapat lain yang berlawanan menyebutkan Ramadan diambil dari kata Al-ramiidh (الرميض) yang bermakna awan atau hujan yang turun setelah musim panas dan sebagai penanda masuknya musim gugur, sehingga hilanglah dan luntur semua panas selama ini.
Secara kultur Jazirah Arab bagian utara pernah sangat dekat dengan bangsa Babilonia. Dalam perhitungan tahun Bangsa Babilonia menggunakan kalender suryacandra (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan kesembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Mulai pagi hingga petang bebatuan gunung dan pasir gurun terpanggang oleh sengatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Pada malam hari, panas bebatuan dan pasir sedikit reda, tapi sebelum berubah menjadi dingin sepenuhnya sudah kembali berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang membakar. Hari-hari itu disebut bulan Ramadan, bulan dengan panas yang membakar.
Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis Matahari, bulan ke-sembilan yaitu Ramadan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami ‘panas’ Ramadan secara metaforik semata. Karena pada hari-hari Ramadan orang berpuasa, tenggorokan terasa kering karena kehausan, atau diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadan maka dosa-dosa yang pernah dilakukan menjadi hangus terbakar seusai Ramadan.
Hal ini sejalan dengan banyaknya Hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang besarnya keutamaan Ramadan, khususnya Ramadan sebagai bulan yang disediakan Allah untuk memberi ampunan bagi umat manusia yang memanfaatkan Ramadan dengan sebaik-baiknya.
Betapa ruginya kita yang bertemu Ramadan, lalu berlalu tanpa diampuni dari dosa-dosa yang telah kita lakukan, Rasulullah SAW bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
“Celakalah seorang hamba yang berjumpa bulan Ramadan kemudian Ramadan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” [HR. Ahmad]
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif mengutip perkataan seorang ulama:
من لم يغفرْ لَه في رمضان فلن يغفر له فيما سواه؛
“Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadan, maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” [Latha-if Al-Ma’arif, hal. 297].
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1444 H, semoga lewat Ramadan ini Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun mengampuni dosa-dosa kita, dan merahmati kita semua. Amin!
Penulis: Rahmat Akademisi IAIN Ternate