Fikrah NU: Pilar Islam Yang Moderat dan Damai

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Fikrah Nahdliyah adalah konsep dasar pemikiran yang menjadi landasan bagi Nahdlatul Ulama (NU) dalam memahami dan menjalankan Islam. Konsep ini dibangun dari pemikiran para ulama NU untuk menjaga nilai-nilai Islam yang damai, toleran, dan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Melalui Fikrah Nahdliyah, NU berupaya meneguhkan Islam sebagai agama yang mampu menyatukan, merangkul, dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Dalam Fikrah Nahdliyah, ada lima pilar utama yang menjadi arah panduan: Fikrah Tawassuthiyah (moderat), Fikrah Tasamuhiyah (toleran), Fikrah Ishlahiyah (reformatif), Fikrah Tathawwuriyah (dinamis), dan Fikrah Manhajiyah (metodologis).

Fikrah Tawassuthiyah: Menjaga Jalan Tengah

Fikrah Tawassuthiyah adalah semangat moderasi yang menjiwai NU. Dalam setiap aspek kehidupan, NU selalu berupaya untuk berada di jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan atau kiri. Tawassuth (moderat) adalah prinsip yang penting untuk menjaga keseimbangan dalam beragama, agar agama Islam dapat dijalankan tanpa sikap berlebihan. Dalam praktiknya, tawassuth membuat NU mampu menjadi jembatan bagi perbedaan pandangan, sekaligus menjadi organisasi yang mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.

Bersikap moderat bukan berarti menanggalkan prinsip-prinsip agama, melainkan memahami dan menerapkannya dengan bijaksana, sesuai dengan konteks dan kebutuhan umat. Moderasi inilah yang menjadikan NU tetap relevan dari generasi ke generasi. Dalam menghadapi tantangan modern, NU dengan prinsip tawassuth-nya mampu menerima perubahan tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar Islam. Sikap moderat ini juga membuat NU mampu mengelola perbedaan tanpa harus terjebak dalam konflik, dan sebaliknya, dapat menjadi kekuatan yang menyatukan umat.

Fikrah Tasamuhiyah: Mengedepankan Toleransi

Tasamuhiyah berarti toleransi, dan bagi NU, toleransi adalah prinsip dasar dalam bersosialisasi dan beragama. NU memandang bahwa Islam adalah agama yang menghargai perbedaan, baik itu dalam keyakinan, suku, maupun budaya. NU percaya bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang harus dihormati dan dikelola dengan baik agar tercipta kedamaian dalam masyarakat.

NU selalu mengajarkan pentingnya menghormati keberagaman, baik antar sesama Muslim maupun antar agama lain. Dengan sikap tasamuh ini, NU selalu terbuka untuk berdialog dan bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk yang memiliki latar belakang kepercayaan yang berbeda. NU percaya bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sehingga misi Islam adalah membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Sikap toleransi ini membuat NU mampu menciptakan iklim yang damai dan harmonis di tengah masyarakat yang beragam. Dengan tasamuhiyah, NU mengajarkan umat Islam untuk saling menghormati, tidak mudah menghakimi, dan tidak cepat menjustifikasi orang lain hanya karena perbedaan pandangan. Prinsip ini menjadikan NU sebagai organisasi yang selalu menekankan pentingnya persaudaraan, baik persaudaraan seagama (ukhuwah Islamiyah), sebangsa (ukhuwah wathaniyah), maupun sesama manusia (ukhuwah basyariyah).

Fikrah Ishlahiyah: Berupaya untuk Perbaikan dan Pembaharuan

Ishlahiyah dalam bahasa Arab berarti “perbaikan” atau “reformasi.” NU memahami bahwa Islam bukan hanya sekadar ajaran yang berfokus pada ritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, Fikrah Ishlahiyah mengarahkan NU untuk selalu berusaha memperbaiki keadaan umat, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi, maupun politik.

Prinsip islah ini menjadikan NU organisasi yang selalu mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman yang telah dijunjung tinggi. Sebagai contoh, NU berperan aktif dalam pendidikan melalui pesantren, membantu peningkatan ekonomi umat melalui koperasi, dan mendorong kesejahteraan sosial melalui berbagai program kemanusiaan. Semua ini merupakan bentuk pengabdian NU untuk mewujudkan nilai-nilai ishlahiyah di masyarakat.

Dengan Fikrah Ishlahiyah, NU tidak hanya menjadi organisasi yang bertahan di tengah perubahan, tetapi juga berperan sebagai motor penggerak yang aktif dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil, makmur, dan berkeadaban. Bagi NU, memperjuangkan nilai islah adalah bentuk pengabdian pada umat, karena melalui perbaikan inilah masyarakat dapat merasakan kemaslahatan dari ajaran Islam yang diterapkan secara nyata.

Fikrah Tathawwuriyah: Dinamis dan Adaptif

Fikrah Tathawwuriyah berarti sikap dinamis dan adaptif. NU memahami bahwa Islam adalah ajaran yang fleksibel dan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Fikrah Tathawwuriyah mendorong NU untuk selalu membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan sosial, agar Islam tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman.

Dengan sikap dinamis ini, NU merespons isu-isu modern, seperti masalah lingkungan, hak asasi manusia, teknologi, dan globalisasi. NU tidak menutup diri dari perkembangan ini, melainkan mencari cara untuk meresponsnya dengan bijaksana, berdasarkan ajaran Islam. Dengan tathawwuriyah, NU mampu bergerak maju tanpa kehilangan identitasnya. Inilah yang membuat NU selalu mampu mengikuti arus zaman, tanpa tercerabut dari akarnya.

Fikrah Tathawwuriyah juga memungkinkan NU untuk terus berinovasi dalam dakwahnya. Di era digital ini, NU aktif dalam menggunakan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan dakwah Islam yang damai dan moderat. Sikap tathawwuriyah menjadikan NU organisasi yang tidak kaku, tetapi mampu bergerak sesuai dengan perkembangan, tanpa kehilangan jati diri sebagai organisasi keagamaan yang moderat.

Fikrah Manhajiyah: Berlandaskan Metodologi yang Jelas

Manhajiyah dalam Fikrah Nahdliyah berarti berpegang pada metodologi yang jelas. NU tidak hanya mengikuti prinsip-prinsip agama secara sembarangan, tetapi memiliki pedoman atau metode yang baku dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Metodologi ini dikenal dengan istilah manhaj atau manhajiyyah, yang artinya mengikuti cara berpikir dan pendekatan ulama terdahulu yang berpedoman pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam praktiknya, NU mengikuti mazhab fiqih, aqidah, dan tasawuf dari para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, yang menjadi kerangka pemikiran dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari. Dengan metodologi ini, NU menjaga agar pemahaman agama tetap konsisten, tidak terjebak pada ekstremitas, serta tetap selaras dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia.

Metode yang jelas ini juga menjadikan NU lebih berhati-hati dalam merespons berbagai persoalan kontemporer. NU tidak sembarangan mengeluarkan fatwa atau pandangan, melainkan melalui kajian mendalam yang melibatkan banyak ulama dan intelektual di dalamnya. Fikrah Manhajiyah menjadikan NU organisasi yang berpikir kritis dan bijaksana dalam menghadapi berbagai isu, karena setiap keputusan diambil dengan metode dan pemahaman yang matang.

Fikrah Nahdliyah sebagai Identitas NU yang Kokoh

Kelima pilar Fikrah Nahdliyah ini – Tawassuthiyah, Tasamuhiyah, Ishlahiyah, Tathawwuriyah, dan Manhajiyah – adalah landasan kuat yang menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang moderat, toleran, dan adaptif. Fikrah ini membentuk karakter NU yang mencintai jalan tengah, menghargai perbedaan, mendukung perbaikan, adaptif terhadap perubahan, dan berpegang pada metodologi yang jelas.

Melalui Fikrah Nahdliyah, NU mampu menjalankan perannya sebagai penjaga moderasi Islam di Indonesia. NU tidak hanya sekadar mengajarkan Islam sebagai agama, tetapi juga sebagai panduan hidup yang membawa kedamaian, kemaslahatan, dan rahmat bagi semua. Dengan berpegang pada Fikrah Nahdliyah, NU dapat terus menyebarkan pesan-pesan Islam yang damai dan menyejukkan, menjadikannya sebagai organisasi yang tidak hanya kuat secara jumlah, tetapi juga kokoh dalam prinsip dan nilai.

Fikrah Nahdliyah adalah pilar utama yang akan terus menuntun NU dalam merespons tantangan zaman, sehingga NU tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sebagai pondasi beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penulis: Zaenuddin Endy – Aktivis Penggerak NU Sulsel

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *