Harmoni NU dan Kearifan Lokal: Menjaga Tradisi Islam di Sulawesi Selatan

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Sulawesi Selatan, dengan kekayaan budayanya yang khas, memiliki sejarah panjang dalam memadukan tradisi lokal dengan ajaran Islam. Di tengah keragaman budaya Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar, Islam menemukan tempatnya dengan cara yang unik dan khas, tanpa mengesampingkan akar tradisi lokal yang telah ada sejak lama. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang menekankan moderasi dan adaptasi terhadap budaya setempat, memainkan peran penting dalam menjaga harmoni antara ajaran Islam dan kearifan lokal di Sulawesi Selatan.

Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan: Warisan yang Terjaga

Masyarakat Sulawesi Selatan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi. Budaya Bugis dan Makassar, misalnya, memegang teguh konsep siri’ (harga diri) dan pesse (solidaritas), yang mengajarkan kehormatan diri, keberanian, dan saling bantu-membantu. Nilai-nilai ini sudah ada jauh sebelum Islam datang dan telah menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat. Ketika Islam masuk ke Sulawesi Selatan melalui para ulama dan saudagar pada abad ke-15, ajaran agama ini tidak menghapus nilai-nilai lokal, melainkan berasimilasi dengan kearifan yang ada, menciptakan sinergi yang harmonis.

Tradisi-tradisi seperti ma’baca doa (pembacaan doa bersama), ma’rappo (ritual tolak bala), dan upacara adat lainnya di Sulawesi Selatan memiliki sentuhan Islam yang kental berkat NU. Di sinilah NU mengambil peran strategis: memastikan bahwa Islam diterapkan dengan tetap menghormati dan melestarikan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Peran NU dalam Memelihara Kearifan Lokal

NU dikenal sebagai organisasi yang mampu membumikan Islam sesuai dengan konteks budaya setempat. Di Sulawesi Selatan, NU hadir sebagai pengawal tradisi yang tetap berlandaskan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan pendekatan yang moderat dan adaptif, NU memastikan bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya dipahami dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam pengelolaan hubungan sosial yang selaras dengan budaya lokal.

NU di Sulawesi Selatan sering mengadakan kegiatan yang menggabungkan tradisi lokal dengan ajaran Islam, seperti pengajian akbar yang disertai dengan massure’ (syair pujian) dan marawis. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya memperkuat tali silaturahmi antarwarga, tetapi juga menjadi sarana dakwah yang lebih mudah diterima oleh masyarakat karena menggunakan bahasa budaya yang mereka pahami.

Para kiai dan tokoh NU di Sulawesi Selatan menerapkan pendekatan yang lemah lembut dan bijak dalam menyampaikan ajaran agama. Mereka tidak memaksa perubahan yang drastis, melainkan membimbing masyarakat untuk melihat bahwa Islam adalah agama yang menghargai dan merangkul kebudayaan. Ini terlihat, misalnya, NU mengintegrasikan tradisi seperti upacara pernikahan adat yang dilengkapi dengan doa-doa Islam, sehingga pernikahan tetap sakral secara agama dan budaya.

Islam Harmonis: Belajar dari NU di Sulawesi Selatan

NU di Sulawesi Selatan telah menunjukkan bahwa menjaga harmoni antara agama dan budaya bukanlah hal yang mustahil. Keberhasilan ini terletak pada pendekatan NU yang mengutamakan fikrah tasamuhiyah (toleransi) dan fikrah tawassuthiyah (moderat). NU memahami bahwa kearifan lokal memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan karakter masyarakat, sehingga tradisi ini perlu dijaga selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.

Dalam tradisi maudu’ lompoa (peringatan Maulid Nabi) di Sulawesi Selatan. Peringatan ini tidak hanya melibatkan pembacaan sejarah Nabi Muhammad saw., dan pengajian, tetapi juga diiringi dengan pertunjukan seni lokal dan pawai budaya. Ini adalah wujud konkret dari bagaimana NU memanfaatkan tradisi sebagai sarana untuk mendekatkan masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Melalui kegiatan seperti ini, Islam tidak hanya menjadi ajaran yang dipelajari di masjid atau pesantren, tetapi juga dirayakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

Tantangan dan Harapan NU dalam Menjaga Kearifan Lokal

Tentu saja, menjaga harmoni antara Islam dan kearifan lokal bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah arus globalisasi dan pengaruh budaya asing yang kadang-kadang menimbulkan benturan dengan nilai-nilai lokal. Di sisi lain, munculnya paham-paham keagamaan yang cenderung keras dan menolak keberagaman tradisi juga menjadi tantangan tersendiri bagi NU.

Namun, NU di Sulawesi Selatan tidak tinggal diam. Dengan kekuatan pesantren, majelis taklim, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya, NU terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga tradisi yang selaras dengan ajaran Islam. Pesantren NU, misalnya, tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menghormati dan mengajarkan budaya lokal sebagai bagian dari khazanah Islam Nusantara.

NU memiliki harapan besar bahwa generasi muda Sulawesi Selatan dapat meneruskan semangat menjaga kearifan lokal sambil tetap memegang teguh ajaran Islam. Pendidikan yang memadukan nilai-nilai lokal dengan pengetahuan agama yang kuat menjadi kunci untuk memastikan tradisi yang kaya ini tetap hidup dan relevan di tengah perkembangan zaman.

Merawat Warisan Bersama

NU di Sulawesi Selatan telah membuktikan bahwa Islam dan kearifan lokal dapat berjalan beriringan, menciptakan harmoni yang indah dalam kehidupan masyarakat. Dengan mengedepankan pendekatan yang moderat, toleran, dan menghargai tradisi, NU berhasil menjaga agar Islam tetap relevan dan membumi, tanpa menghapus identitas budaya yang telah mengakar.

Dalam dunia yang terus berubah, menjaga kearifan lokal menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kearifan lokal bukan hanya warisan budaya, tetapi juga cermin dari nilai-nilai kolektif yang mengajarkan kebijaksanaan, persatuan, dan rasa hormat. Dengan NU sebagai penjaga harmoni ini, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki fondasi yang kuat untuk menjalani kehidupan beragama yang damai, penuh makna, dan selaras dengan budaya mereka.

Dengan semangat tersebut, NU di Sulawesi Selatan akan terus mengawal dan menjaga agar kearifan lokal tetap lestari, menjadi jembatan antara warisan leluhur dan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Penulis: Zaenuddin Endy – Aktivis Penggerak NU Sulsel

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *