Metode Pembelajaran Berbasis Nilai-Nilai Aswaja di Pesantren NU

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai benteng yang menjaga nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Sebagai pendekatan teologi yang moderat, toleran, dan inklusif, Aswaja menjadi landasan utama dalam setiap aspek pembelajaran di pesantren NU. Metode pembelajaran berbasis nilai-nilai Aswaja ini bertujuan untuk mencetak individu yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan mampu menjadi agen perdamaian dalam masyarakat.

Nilai-Nilai Aswaja dalam Pendidikan Pesantren NU

Nilai Aswaja seperti tawasuth (moderasi) juga terlihat dalam pembelajaran lintas disiplin di pesantren. Selain mendalami kitab kuning, santri diperkenalkan pada ilmu-ilmu umum seperti matematika, sains, dan teknologi. Dengan mengintegrasikan keduanya, pesantren NU mempersiapkan santri untuk memiliki keahlian akademik dan keterampilan hidup yang seimbang, sesuai dengan prinsip tawazun. Pendekatan ini menjadikan santri tidak hanya berorientasi pada akhirat tetapi juga kompetitif di dunia kerja.

Selain itu, tasamuh (toleransi) di pesantren NU juga diajarkan melalui interaksi sosial antara santri yang berasal dari latar belakang suku, bahasa, dan budaya yang beragam. Kegiatan seperti diskusi kelompok, olahraga bersama, dan kerja sama dalam kepanitiaan acara pesantren menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan. Dengan cara ini, santri dilatih untuk menghargai keberagaman sebagai anugerah yang memperkaya kehidupan.

Dalam kerangka tawazun, pesantren NU mengembangkan kegiatan yang mengasah kemampuan spiritual sekaligus intelektual. Di satu sisi, santri diajarkan untuk rutin menjalankan ibadah seperti salat berjemaah, puasa sunnah, dan membaca al-Qur’an. Di sisi lain, pesantren menyediakan ruang untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis, seperti melalui pelatihan debat atau kajian isu-isu global. Hal ini bertujuan agar santri mampu menjaga keseimbangan antara kesalehan spiritual dan kecerdasan intelektual.

Nilai-nilai Aswaja juga diterapkan dalam cara pesantren NU mengelola konflik internal. Jika terjadi perbedaan pandangan atau perselisihan antarindividu, kiai sering menggunakan pendekatan mediasi berbasis nilai Aswaja. Metode ini mengutamakan dialog yang penuh hikmah dan penyelesaian yang adil, sehingga konflik dapat diselesaikan tanpa menciptakan keretakan hubungan.

Metode Pembelajaran Kitab Kuning

Dalam metode sorogan, pesantren NU tidak hanya mengajarkan pemahaman literal terhadap kitab kuning, tetapi juga menekankan kontekstualisasi ajaran. Misalnya, dalam kajian fiqih, santri diajak untuk mengaitkan isi kitab dengan permasalahan kontemporer, seperti hukum ekonomi syariah atau isu lingkungan. Hal ini menjadikan kitab kuning relevan dan aplikatif dalam kehidupan modern.

Selain bandongan sebagai metode pembelajaran kolektif, beberapa pesantren NU mengadopsi pendekatan pembelajaran kolaboratif yang melibatkan senior dan junior. Santri senior diberi tugas untuk membantu santri junior memahami kitab kuning. Proses ini tidak hanya mempercepat pemahaman bagi junior, tetapi juga melatih kepemimpinan dan tanggung jawab santri senior dalam membimbing adik-adiknya.

Diskusi dalam musyawarah juga diperluas dengan melibatkan isu-isu sosial yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Contohnya, santri diajak untuk menganalisis solusi atas permasalahan seperti konflik antarwarga atau penanggulangan bencana. Dengan cara ini, musyawarah tidak hanya menjadi ruang pembelajaran keagamaan, tetapi juga melatih santri untuk menjadi problem solver yang berlandaskan nilai-nilai Aswaja.

Selain memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran kitab kuning, beberapa pesantren NU mulai menerapkan sistem evaluasi berbasis digital. Santri dapat mengikuti ujian atau kuis melalui platform online yang dirancang khusus untuk pesantren. Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi pembelajaran tetapi juga memperkenalkan santri pada teknologi informasi yang relevan di era modern.

Penguatan Karakter Berbasis Nilai Aswaja

Penguatan karakter di pesantren NU juga dilakukan melalui pendidikan etika komunikasi. Santri diajarkan untuk berbicara dengan santun, menghormati lawan bicara, dan menghindari kata-kata yang menyakitkan. Nilai-nilai ini diterapkan baik dalam diskusi formal seperti musyawarah maupun dalam interaksi sehari-hari di lingkungan pesantren. Dengan cara ini, santri dilatih untuk menjadi individu yang berakhlak mulia dalam setiap aspek kehidupan.

Kegiatan harian seperti ronda malam atau piket kebersihan juga menjadi media pembelajaran karakter. Dalam kegiatan ini, santri diajarkan tanggung jawab dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Misalnya, dalam piket kebersihan, santri tidak hanya membersihkan area pesantren tetapi juga belajar untuk menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman.

Keteladanan kiai dalam kehidupan sehari-hari menjadi inspirasi utama bagi santri dalam membentuk karakter mereka. Kiai biasanya menunjukkan sikap rendah hati, kesabaran, dan kasih sayang dalam berinteraksi dengan santri maupun masyarakat sekitar. Hal ini menjadikan kiai sebagai model nyata dari implementasi nilai-nilai Aswaja yang diajarkan di pesantren.

Karakter berbasis Aswaja juga diperkuat melalui program kegiatan sosial, seperti kunjungan ke panti asuhan, kerja bakti di masyarakat, atau pembagian bantuan kepada warga kurang mampu. Dengan melibatkan santri dalam kegiatan semacam ini, pesantren NU menanamkan nilai-nilai empati, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama.

Relevansi Metode Aswaja dalam Tantangan Zaman

Di era digital, pesantren NU memanfaatkan media sosial sebagai platform dakwah berbasis nilai Aswaja. Santri diajarkan untuk menggunakan media sosial secara bijak, seperti menyebarkan konten positif, menghindari ujaran kebencian, dan melawan hoaks. Upaya ini tidak hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga memperkuat peran santri sebagai agen perubahan di dunia maya.

Pesantren NU juga merespons tantangan radikalisme dengan mengintegrasikan pendidikan toleransi dalam kurikulum. Santri diajak untuk memahami bahwa Islam adalah agama yang damai dan menghormati keberagaman. Program ini sering kali melibatkan pelatihan khusus, seperti simulasi resolusi konflik atau seminar tentang kebhinekaan.

Selain itu, pesantren NU mengembangkan inovasi dalam pendidikan vokasional berbasis nilai Aswaja. Beberapa pesantren menyediakan pelatihan kejuruan seperti keterampilan IT, bisnis syariah, atau agribisnis yang tetap menjunjung prinsip-prinsip moderasi. Santri yang mengikuti program ini tidak hanya mendapatkan keahlian teknis tetapi juga dilatih untuk menerapkan etika Islam dalam profesi mereka.

Melalui penguatan metode Aswaja, pesantren NU mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Hal ini menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tetap relevan di tengah perubahan zaman, dengan lulusan yang memiliki kompetensi global sekaligus berakar pada nilai-nilai keislaman.

Dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran berbasis nilai-nilai Aswaja di pesantren NU merupakan warisan pendidikan Islam yang tidak hanya berfokus pada penguasaan ilmu agama tetapi juga pembentukan karakter santri yang moderat, toleran, dan seimbang. Nilai-nilai tawasuth, tasamuh, dan tawazun yang diajarkan secara konsisten dalam pendidikan pesantren menjadi fondasi penting dalam membangun generasi yang berakhlak mulia dan mampu hidup berdampingan di tengah keberagaman.

Pendekatan pembelajaran kitab kuning, yang menggunakan metode sorogan, bandongan, dan musyawarah, menjadi ciri khas pesantren NU. Metode ini tidak hanya mengasah pemahaman akademik santri, tetapi juga menanamkan sikap disiplin, kerja sama, dan pemikiran kritis yang relevan dengan tantangan zaman. Inovasi teknologi yang mulai diadopsi oleh beberapa pesantren menunjukkan bahwa pendidikan berbasis tradisi dapat berkembang tanpa kehilangan esensi utamanya.

Penguatan karakter berbasis nilai Aswaja semakin mempertegas peran pesantren NU dalam mencetak individu yang tidak hanya kompeten secara intelektual tetapi juga peduli terhadap masyarakat. Melalui berbagai kegiatan sosial, tradisi keagamaan, dan teladan para kiai, santri diajarkan untuk menjadi pribadi yang berempati, bertanggung jawab, dan berkomitmen menjaga harmoni.

Di tengah tantangan globalisasi dan maraknya radikalisme, pesantren NU membuktikan bahwa nilai-nilai Aswaja tetap relevan sebagai solusi pendidikan yang menekankan perdamaian, keterbukaan, dan keseimbangan. Dengan mengintegrasikan metode tradisional dan inovasi modern, pesantren NU berhasil menjadi lembaga pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan umat sekaligus berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang damai, beradab, dan berdaya saing.

Penulis: Zaenuddin Endy – Koordinator Kader Penggerak NU Sulawesi Selatan

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *