Saat Demokrasi jadi Topeng

HARIANSULSEL.COM – Demokrasi merupakan suatu sistem yang memberikan hak bersuara, hak menyampaikan pendapat kepada setiap warga secara bebas, dan tetap berpegang teguh pada ketentuan hukum yang berlaku dalam negara tersebut.
Jika makna ini dilihat dalam konteks pemilihan pimpinan, baik untuk tingkat nasional, daerah, ataupun dalam organisasi dan lembaga, maka semua warga (anggota) mesti memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat dan pilihan yang disiapkan oleh aturan dan mekanisme yang disepakati. Itu berarti seluruh masyarakat memiliki hak untuk bebas memilih pemimpin yang dipandang dapat mewujudkan apa yang mereka harapkan untuk sebuah kemajuan dan kesejahteraan mereka.
Sampai pada pengertian ini, ketika kita bisa hadir untuk bersama-sama mengawal dan mengawasi semua tahapan proses demokrasi tersebut agar berjalan sesuai aturan, mekanisme dan cita-cita demokrasi, maka proses ini kita sebut demokrasi. Bahwa jika dalam proses tersebut benar bisa meminimalisasi “kejahatan demokrasi” yang setiap saat mengancam hakikat demokrasi, maka kita akan menganggap bahwa proses yang kita jalankan telah benar dan sesuai aturan dan mekanisme yang ada.
Mungkin benar, bahwa proses pelibatan rakyat untuk memberi pilihan secara bebas dan rahasia, adalah salah satu indikator dari demokrasi, namun sedikit catatan penting yang perlu dikemukakan bahwa proses demokrasi sebenarnya mesti dilihat dari bagaimana partai yang diberi kuasa penuh dalam menentukan tokoh dan figur yang akan ditawarkan kepada rakyat sebagai calon pemimpin yang diyakini mampu memberi tawaran dan kerja nyata untuk menyelesaikan problem daerah dan masyarakat, mampu mengelola potensi daerah (SDM dan SDA), untuk memajukan derah dan mensejahterakan rakyat.
Adakah partai benar-benar memperhatikan dan menyerap apa yang diinginkan rakyat? Adakah partai-partai tersebut memberi ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk memberi alternatif pilihan yang lebih terbuka….?
Jika pemahaman ini kita gunakan untuk melihat aksi para politisi (elit) dan partai politik di beberapa daerah yang “memaksakan” untuk, untuk meminimalkan pilihan kepada rakyat, bahkan ada yang berusaha keras untuk menjadikan kandidatnya atau dirinya sebagai sebagai kandidat pilihan satu-satunya, maka proses selanjutnya, bukanlah sebuah demokrasi yang hakiki, tetapi lebih tepat disebut dengan menjadikan demokrasi sebagai topeng untuk mewujudkan hasrat dan keinginannya.
Dia disebut demokrasi karena rakyat yang diminta ikut memilih kandidat yang ada dan yang mereka tawarkan. Tetapi karena proses menentukan dan mengusung kandidat dilakukan, bukan untuk menawarkan beberapa alternatif figur yang dianggap memiliki kemampuan, kualitas dan integritas baik bagi daerah dan rakyat, tetapi mengusung figur yang dianggap mewakili kepentingan partai politik, dan berusaha menutup kemungkinan munculnya figur lain, yang secara kualitas, integritas dan lebih diterima oleh rakyat, maka dapat dikatakan bahwa proses demokrasi itu sebagai sebuah TOPENG.
Kita tidak bisa pungkir, menjelang perhelatan politik tahun 2018 dan tahun 2019, upaya saling menjegal, dan berusaha menutup pintu dan peluang kandidat lain, figur lain, tokoh lain untuk bisa menjadi bagian yang ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih, sudah gencar dilakukan.
Dalam konteks nasional, pembatasan ketat aturan precidential treshold dalam UU, adalah bentuk dari upaya menutup pintu untuk kandidat lain. Sedangkan dalam konteks Pilkada, upaya memaksakan munculnya kandidat yang melawan kotak kosong di beberapa daerah. Jika tidak bisa kotak melawan kotak kosong, maka diupayakan agar figur yang dianggap memiliki kans untuk meraih simpatik dan pilihan rakyat, tetapi bukan figur yang mewakili kepentingannya,akan diusahakan agar figur tersebut tidak punya ruang untuk maju dan ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih.
Lalu siapa sebenarnya yang memiliki kuasa dan kekuatan untuk “membuka dan menutup pintu” itu….? Apakah figur, partai politik atau di luar keduanya…?
Pada banyak kasus, yang memiliki kuasa dan kekuatan itu, ada di luar figur dan di luar partai politik. Merekalah yang memiliki kepentingan kuat untuk kemenangan figur yang mereka usung. Itulah sebabnya, sulit untuk menjelaskan, kenapa ada figur yang rela “kawin paksa”, hanya karena kuatnya intevensi pemilik kekuatan di belakang mereka. Itulah sebabnya, sulit mencarikan argumentasi, mengapa ada partai yang selama ini dianggap “rivalitas” dalam berbagai issu dan kebijakan, akhirnya bisa “tampil” nyatu dan bermesraan.
Inilah prilaku yang saya sebut dengan Topeng Demokrasi.
Penulis: Saiful Jihad (Akademisi Unhas, Pengurus IKA PMII, Wakil Sekretaris PW Pergunu Sulsel)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *