Nalar Makrifat dalam Kitab Anisul Muttaqien (Seri-17)

HARIANSULSEL.COM, Makassar – “Kalian mengambil ilmu dari benda mati, sementara kami mengambilnya dari yang Yang Maha Hidup, tidak pernah mati”.

Ungkapan di atas dilontarkan oleh Abu Yazid Al-Bustami (188 H/804 M). Seorang sufi berkebangsaan Persia. Ungkapan yang senada juga disampaikan oleh sufi besar Dzun Nun al-Misri ketika ditanya tentang Tuhan.

“Seandainya bukan karena Tuhanku, maka saya tidak mengenal Tuhanku”.

Demikian nalar makrifat. Nalar yang meletakkan Tuhan adalah segalanya. Dari Dia. Karena Dia. Dan untuk Dia. Secara operasional, terinspirasi Nursamad Kamba, nalar makrifat tersebut memiliki tiga prinsip:

Pertama, tiap realitas mengandung unsur materi dan inmateri (spiritual) sekaligus. Setiap fenomena empiris mengandung dimensi spiritual di dalam dirinya. Mereka semua bertasbih (QS. Al-Isra: 44). Menafikan dimensi itu, sama dengan menafikan fakta empiris itu sendiri.

Dalam konteks ini, proses pengetahuan harus mengintegrasikan semua potensi diri secara holistik; Indra, akal dan hati. Itulah tauhid (penyatuan) dalam konteks epistemology. Ketiganya bersifat hirarki. Berjenjang sebagaimana realitas itu juga berjenjang. Yang tertinggi adalah pengenalan wujud Allah yang tak terbatas.

Untuk sampai kepada maqam itu, aktivasi potensi hati adalah kuncinya. Baik melalui zikir maupun tafakkur. Indra dan akal hanyalah pengantar. Semakin jauh hati terbebas dari bayangan keduanya, semakin dekat dengan wujud tak terbatas itu. Itulah musyhadah.

Kedua, realitas yang ada adalah adalah minefestasi wujud Allah. Dialah Yang Maha Tunggal dan Esa. Sementara semua entitas yang lain adalah makhluk yang bergantung kepada-Nya.

Tuhan mengabarkan diri-Nya untuk dikenal melalui ayat Alquran, semesta dan fenomena diri. Maka para sufi, tidak hanya mentadarus Alquran melalui bacaan, tapi juga tak henti-hentinya bertafakkur pada alam dan dirinya. Di titik itulah akan menemukan kesejatian dirinya yang terbatas. Yang kekal hanyalah kebesaran Allah (QS. Al-Baqarah: 115).

Ketiga, bersifat empirik. Tapi bukan rasional empirik. Ia bersifat praktek daripada teori. Menekankan pengalaman dan pengamalan langsung. Pada tahapan ini, orang melalukan mujahadah nafs secara terus menerus. Mulai dengan taubat. Menghilangkan (takhalli) sifat dengki, iri hati, sombong, ujub dalam diri. Kemudian mengisi (at-tahalli) dengan sifat-sifat terpuji; tawadu, murah hati, berfikir positif. Dan terakhir adalah proses tajalli (menefestasi) sifat Tuhan dalam diri. Mengasihi seperti Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih). Bijaksana seperti al-Hakim (Maha Bijaksan). Dermawan seperri Al-Karim (Yang Maha Pemurah). Dan seterusnya.

Tahapan tajalli adalah tertinggi. Mereka digambarkan oleh Alquran sebagai orang yang hatinya selalu aktif (bergetar) QS. Anfal: 2). Mata tidak pernah kering karena menangis (QS. Al-Maidah: 83). Menangis bukan karena THR belum cair. Tapi melihat kebesaran Allah melalui mata hati (bashirah).

Dengan demikian, tak heran jika Syeikh Al-Palembani mengatakan bahwa makrifat lebih tinggi dari ilmu. Karena manusia, pada hekakatnya, telah makrifat sebelum ia lahir. “Alastu birabbikum? Qalu bala syahidna!” (QS. Al-A’raf: 172). Persaksian pertama di alam rahim. Setelah lahir di dunia, baru terjadi proses ilmu (mengetahui). Panca indra dan akal bertahap mengetahui. Naik menjadi penyerahan diri secara total (Islam). Dibarengi dengan keyakinan yang kokoh dalam hati (iman). Berakhir pada aktualisasi diri dengan sifat-sifat Allah (Ihsan). Tahapan ini, juga dikenal makrifat kedua dengan ilmu hikmah. Itulah manusia yang arif bijaksana; perbuatan, perkataan dan pikiran. Wallahu A’lam bishsahwab

Penulis: Darlis Dawing – Dosen IAIN Palu

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *