Haji Tanpa ke Tanah Suci (Seri-34)

HARIANSULSEL.COM, Makassar – “Berapa uang tersisia?” tanya Abdullah bin Mubarak kepada muridnya.

Ketika itu, mereka sedang dalam perjalanan ke tanah suci. Sudah cukup jauh dari tanah asalnya, Merv. Hatinya riang gembira. Seraya bertalbiyah. Labbaikallahumma labbaik. La syarika laka labbaik. Menggema. Bersemangat. Betapa tidak, satu tahun lamanya, hati memendam rindu. Untuk memeluk ka’bah. Mencium batu surga.

Namun, tiba-tiba langkah Abdullah bin Mubarak terhenti. Wajahnya murung, sangat sedih. Hatinya terenyuh, tak kala melewati sebuah gubuk. Di dalamnya tinggal seorang perempuan tua. Bersama beberapa anaknya. Makananya, sesekali, adalah bangkai, karena terpaksa.

“Tidak ada haji tahun ini, kita kembali saja.” Tegas Abdullah bin Mubarak kepada muridnya.

Merekapun kembali ke negeri asalnya, Khurasan. Tidak melanjutkan perjalanan hajinya. Semua bekal hajinya diberikan kepada perempuan itu. Untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya yang terlantar.

Abdullah bin Mubarak adalah seorang tabiin. Lahir di Marwa 118-181 H/736-797 M. Terkenal sebagai ahli fiqhi, hadis dan sufi yang zuhud. Hidup sederhana dan suka membantu.

Selain itu, Abdullah bin Mubarak adalah seorang busnismen. Importir dan eksportir. Dagangannya menguasai jalur Khurasan dan Mekkah saat itu. Terkenal sebagai saudagar yang sangat visioner. Di tangannya, tanah bisa menjadi emas. Sangat kreatif dan pekerja keras. Tak kenal lelah. Tak putus asa. Demikian sosok beliau yang digambarkan oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud. Mantan Syeikh Al-Azhar yang sangat terkemuka.

Kepribadian Abdullah bin Mubarak membuat takjub ulama sezamannya. Tak sedikit mereka iri kepadanya. Sebagaimana Ali bin Fudhail pernah mendengar ayahnya menegur Abdullah bin Mubarak.

“Engkau menyuruh kami bersikap zuhud, sementara dirimu tak hentinya bolak balik Khurasan-Mekah membawa daganganmu?” ia protes, keheranan kepada Ibn Mubarak.

“Wahai sahabatku. Saya melakukan itu, untuk menjaga kehormatanku. Dengan itu aku menyempurnakan agamaku. Tidak ada kewajiban kecuali aku bersegera menunaikannya.” Demikian klarifikasi Ibn Mubarak kepada sahabatnya itu.

Abdullah bin Mubarak memang terkenal pekerja keras. Memiliki etos kerja yang tinggi. Ia mirip dengan sahabat Usman bin Affan. Serupa dengan Abdurrahman bin Auf. Tidak bermalas-malasan. Apalagi hanya menjadi beban orang lain. Ia tidak makan kecuali hasil jerih payahnya sendiri. Sama seperti nabi Daud As.

Sosok Abdullah bin Mubarak berbeda kebanyakan sufi yang lain. Dia termasuk sufi yang mengamalkan seruan Alquran: bertebaranlah di muka bumi mencari rezki halal! (QS.Al-Muzammil; 20; Al-Mulk: 15). Ia juga termasuk orang yang sangat malu di hadapan Allah. Jika dibangkitkan di akhirat, sedang mukanya tinggal tengkorak, karena meminta-mina di dunia (HR. Bukhari).

Semangat itulah, akhirnya Allah membuka berkah langit untuknya karena kerja kerasnya. Allah memuliakan dirinya karena rasa syukurnya. Ia seorang hartawan yang dermawan. Menaikkan haji beberapa orang miskin di kampungnya. Ia senantisa hadir di tengah orang lemah. Menderma bukan haus sanjungan. Tapi, karena takut masuk golongan Attakatsur. Kaya yang menelantarkan. (QS Attakatsur).

Itu pula penyebab, ia membatalkan haji tahun itu. Takut murka Allah kerena lalai dengan hak saudaranya. Membantu mereka jauh lebih mulia daripada haji itu sendiri. Demikian keyakinannya. Menduhulukan kasalehan social dari pada kesalehan individual.

Musim haji berlalu. Jamaah dari Saudi berdatangan. Anehnya, mereka tak henti-hentinya menyanjung Abdullah bin Mubarak. Mengucapkan selamat, atas haji mabrurnya. Sekaligus berterimakasih atas bantuannya.

Mereka sangat terbantu oleh Abdullah bin Mubarak di tanah suci. Tak henti-hentinya memberi makan yang lapar. Menyemangati yang lelah. Ibadah hajinya pun sangat sempurna. Demikian yang mereka saksikan dari Abdullah bin Mubarak selama di tanah haram, di Mekkah.

Abdullah ibn Mubarak pun hanya diam. Tercengang. Mana mungkin dirinya ada di tanah suci, sementara dia tidak naik haji tahun itu? Gumamnya dalam hati. Sambil melayani tamu itu.

Tahun ini, ibadah haji belum pasti. Kalaupun jadi, bisa jadi dibatasi. Banyak orang yang sudah menunggu lama. Persiapan materi sudah sempurna. Tapi, jika seandainya Allah berkehendak lain. Belum ditakdirkan karena pandemic Covid-19. Atau karena lain hal. Jangan bersedih!

Predikat hajipun tidak harus ke Mekkah. Tawaf di baitullah. Wuquf di padang Arafah dan melempar jamrah di Mina. Abdullah bin Mubarak tercatat sebagai haji mabrur, sementara dirinya tidak ke tanah suci. Cukup bantu mereka yang kelaparan!

Wallahu A’alm bissawab!

Penulis: Darlis Dawing – Dosen IAIN Palu

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *