Opini: IsIam Bukan Sekedar Diceramahkan

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Syiar Islam di Nusantara telah berlangsung berabad-abad, sejak pertama kali agama ini masuk ke wilayah kepulauan. Jika dahulu para wali dan ulama menyampaikan dakwah kepada masyarakat yang belum mengenal Islam, kini syiar Islam terus digaungkan di tengah komunitas yang mayoritas sudah beragama Islam. Setiap hari Jumat, khatib naik mimbar, menyampaikan pesan-pesan keislaman, mengingatkan umat tentang kebaikan dan larangan. Belum lagi ceramah di bulan Ramadan yang penuh dengan kajian agama, tausiah di televisi, pengajian di masjid-masjid, serta beragam konten dakwah yang tersebar luas di media sosial. Syiar Islam seperti tidak pernah berhenti, berlangsung terus-menerus sepanjang tahun.

Namun, pertanyaannya, apakah pesan-pesan dakwah itu benar-benar mengubah perilaku umat Islam secara signifikan? Nyatanya, realitas sosial masih menunjukkan adanya ketimpangan antara nilai-nilai Islam yang diajarkan dan praktik kehidupan sehari-hari. Korupsi masih merajalela, ketidakjujuran dalam perdagangan masih terjadi, perpecahan antarumat karena perbedaan pandangan masih sering ditemukan. Bahkan, di lingkungan yang penuh dengan dakwah sekalipun, akhlak Islam belum tentu menjadi pedoman utama dalam interaksi sosial.

Situasi ini mengundang perenungan mendalam. Dulu, Walisongo menyebarkan Islam kepada masyarakat yang sama sekali belum mengenal agama ini. Mereka menghadapi tantangan besar karena harus menjelaskan konsep tauhid, ibadah, dan akhlak Islam dari nol. Kini, para dai dan ulama justru menyampaikan syiar Islam kepada mereka yang sudah Muslim, yang seharusnya sudah memahami ajaran agama ini. Tetapi mengapa syiar yang terus-menerus ini seolah tidak berbanding lurus dengan perbaikan moral umat?

Salah satu kemungkinan jawabannya adalah bahwa dakwah dan syiar Islam saat ini lebih bersifat informatif daripada transformatif. Masyarakat mendengar ceramah, membaca artikel keislaman, dan menonton video dakwah, tetapi itu sering kali hanya sebatas konsumsi intelektual, tanpa diiringi refleksi dan perubahan nyata dalam kehidupan mereka. Islam tidak cukup hanya dipahami, tetapi harus diamalkan.

Selain itu, ada pergeseran dalam cara berdakwah. Jika dahulu para wali menggunakan pendekatan budaya dan sosial yang relevan dengan masyarakat setempat, kini sebagian dakwah lebih banyak bersandar pada retorika dan dogma. Gaya penyampaian yang cenderung menggurui atau bahkan menyalahkan bisa membuat pesan dakwah kurang efektif dan sulit diterima oleh masyarakat.

Di era digital, syiar Islam juga menghadapi tantangan baru. Informasi agama mudah diakses oleh siapa saja, tetapi sering kali tanpa bimbingan yang tepat. Banyak orang belajar Islam secara instan melalui media sosial, tetapi tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya, muncul fenomena keberagamaan yang serba instan—mereka yang rajin mengikuti ceramah online, tetapi tetap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Di sisi lain, ada juga tantangan individualisme yang semakin menguat. Masyarakat modern cenderung lebih fokus pada kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan kolektif. Dakwah yang menekankan pentingnya kebersamaan, persaudaraan, dan kepedulian sosial sering kali kalah dengan tren kehidupan yang individualistik. Nilai-nilai Islam yang menuntut tanggung jawab sosial menjadi semakin sulit untuk diinternalisasi.

Namun, ini bukan berarti syiar Islam tidak memiliki dampak sama sekali. Banyak juga individu dan komunitas yang mengalami perubahan positif setelah mendapatkan bimbingan agama yang tepat. Masih ada orang-orang yang dengan sungguh-sungguh mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Tantangannya adalah bagaimana agar syiar Islam tidak hanya menjadi sekadar ritual yang berulang setiap minggu atau setiap Ramadan, tetapi benar-benar menjadi pemantik perubahan.

Perlu ada pembaruan dalam metode dakwah. Para ulama dan dai perlu memahami kondisi sosial masyarakat secara lebih mendalam dan menyampaikan pesan Islam dengan cara yang lebih relevan dengan kehidupan modern. Pendekatan yang lebih empatik dan solutif mungkin akan lebih efektif dibandingkan sekadar menyampaikan larangan dan ancaman hukuman.

Dakwah yang lebih mengedepankan keteladanan juga bisa menjadi kunci keberhasilan syiar Islam. Walisongo tidak hanya berdakwah dengan kata-kata, tetapi juga dengan perbuatan. Mereka menunjukkan bagaimana Islam bisa membawa manfaat bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Saat ini, umat membutuhkan lebih banyak teladan yang nyata, bukan hanya nasihat yang diulang-ulang.

Selain itu, diperlukan sinergi antara berbagai elemen masyarakat. Dakwah tidak hanya tugas ulama dan dai, tetapi juga akademisi, praktisi sosial, bahkan pemerintah. Islam harus diwujudkan dalam sistem yang mendukung keadilan, kesejahteraan, dan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia.

Keberhasilan syiar Islam bukan hanya diukur dari seberapa sering dakwah disampaikan, tetapi sejauh mana nilai-nilai Islam benar-benar meresap ke dalam perilaku umat. Selama syiar Islam masih sebatas seruan yang didengar tetapi tidak diamalkan, maka misi dakwah seolah tak kunjung kelar.

Oleh karena itu, kita semua memiliki peran dalam memastikan bahwa syiar Islam tidak hanya menjadi ritual, tetapi menjadi kekuatan yang mampu membawa perubahan nyata dalam kehidupan pribadi dan sosial. Islam bukan hanya untuk diceramahkan, tetapi juga untuk diamalkan. Jika setiap individu benar-benar menjadikan Islam sebagai pedoman dalam kehidupan mereka, maka syiar Islam akan mencapai tujuan utamanya—menghadirkan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Wallahu A’lam Bissawab

Penulis: Zaenuddin Endy – Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara Sulawesi Selatan

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *