Opini: Islam Merawat Tradisi

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam tidak hanya memberikan petunjuk dalam ibadah dan akidah, tetapi juga menghargai serta merawat tradisi-tradisi lokal yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dalam aspek budaya, tanpa mengubah esensi normatifnya. Sebagaimana kaidah yang berbunyi, “Al-Islam shalih li kulli zaman wa makan” (الإسلام صالح لكل زمان ومكان), yang berarti Islam sesuai untuk segala zaman dan tempat tanpa mengalami perubahan dalam prinsip-prinsipnya.

Dalam sejarah penyebaran Islam, kita melihat bagaimana ajaran Islam mampu beradaptasi dengan berbagai tradisi lokal tanpa kehilangan jati dirinya. Di berbagai belahan dunia, Islam hadir dengan kelembutan dan pendekatan yang menghargai budaya masyarakat setempat. Selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan tauhid dan prinsip dasar Islam, maka tradisi itu tetap dapat dipertahankan, bahkan diperkaya dengan nilai-nilai Islam. Inilah yang membuat Islam mudah diterima oleh berbagai bangsa.

Di tanah Arab sendiri, sebelum Islam datang, terdapat banyak tradisi yang telah berlangsung lama. Sebagian tradisi tersebut dikoreksi dan dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran tauhid, seperti penyembahan berhala dan praktik-praktik yang tidak manusiawi. Namun, ada pula tradisi yang tetap dipertahankan, tetapi disesuaikan dengan nilai Islam. Salah satu contohnya adalah thawaf di Ka’bah. Sebelum Islam, masyarakat Arab sudah melakukan thawaf, tetapi disertai dengan lafaz-lafaz syirik dan tindakan yang bertentangan dengan akidah Islam. Ketika Islam datang, ritual thawaf tetap dipertahankan, tetapi lafalnya diubah menjadi “Labbaik Allahumma labbaik” (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْك), sebagai bentuk ketundukan hanya kepada Allah.

Di Nusantara, Islam juga masuk dengan pendekatan yang sangat bijaksana dalam merawat tradisi lokal. Para ulama dan wali yang menyebarkan Islam di Indonesia tidak serta-merta menghapus tradisi masyarakat, tetapi justru mengislamkan budaya tersebut. Misalnya, dalam tradisi slametan atau kenduri yang sudah ada sebelum Islam, para ulama tidak menghilangkannya, tetapi menggantinya dengan doa-doa dalam Islam serta dzikir kepada Allah. Begitu pula dengan kesenian dan sastra yang diislamkan, seperti wayang yang digunakan oleh Wali Songo untuk menyampaikan ajaran tauhid.

Sikap Islam dalam merawat tradisi lokal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Ayat ini mengajarkan bahwa Islam tidak datang dengan paksaan dan kekerasan dalam mengubah budaya masyarakat. Sebaliknya, Islam mengajak dengan kelembutan serta mengarahkan tradisi yang baik menuju nilai-nilai ketauhidan. Pendekatan ini yang membuat Islam berkembang pesat dan diterima dengan damai oleh masyarakat berbagai suku dan bangsa.

Dalam aspek hukum Islam, kaidah Al-‘adah muhakkamah (العادة محكمة), yang berarti adat kebiasaan dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan syariat, menjadi dasar bahwa tradisi lokal bisa tetap eksis dalam masyarakat Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang kaku, melainkan memberikan ruang bagi keberagaman budaya selama berada dalam koridor syariat.

Di berbagai negara Muslim, kita dapat melihat bagaimana Islam tetap menghargai budaya lokal. Misalnya, dalam busana Muslim, masyarakat Timur Tengah mengenakan jubah, sedangkan di Indonesia, umat Islam tetap memakai baju adat seperti sarung dan kebaya, yang kemudian disesuaikan dengan prinsip kesopanan dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memaksakan satu budaya tertentu sebagai standar bagi semua umatnya.

Di Afrika, masyarakat Muslim tetap mempertahankan tradisi seni dan musik lokal yang tidak bertentangan dengan Islam. Begitu pula di Turki, ritual Mevlevi atau tarian sufi tetap dilakukan sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Ini membuktikan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga peradaban yang menghormati dan memperkaya budaya.

Dalam sejarah Islam, Rasulullah saw juga memberikan contoh dalam merawat tradisi yang baik. Sebelum Islam, masyarakat Arab memiliki kebiasaan melakukan perjanjian kesepakatan untuk menegakkan keadilan, yang dikenal sebagai Hilf al-Fudhul. Rasulullah saw mengapresiasi tradisi ini dan menyatakan bahwa jika perjanjian semacam itu terjadi lagi di masa Islam, beliau akan tetap mendukungnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak segala tradisi, tetapi memilih dan merawat yang sesuai dengan prinsip Islam.

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلَاقِ”
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menguatkan bahwa Islam bukan untuk menghapus budaya secara mutlak, tetapi untuk menyempurnakan akhlak dalam tradisi yang sudah ada. Islam datang dengan membawa pencerahan, bukan dengan paksaan untuk mengganti semua aspek kehidupan masyarakat secara drastis.

Dengan demikian, Islam tetap menjaga keseimbangan antara ajaran ilahiah dan kearifan lokal. Islam merawat tradisi lokal dengan cara mengislamkannya, bukan menghapusnya. Sehingga, Islam dapat diterima dengan baik oleh berbagai kalangan, tanpa kehilangan identitasnya sebagai agama yang suci dan universal. Pendekatan ini menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang memberikan rahmat dan kedamaian bagi seluruh manusia di muka bumi. Wallahu A’lam Bissawab

Penulis: Zaenuddin Endy – Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara Sulawesi Selatan

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *