Semua Akan NU pada Waktunya: Antara Keikhlasan dan Kepentingan Sesaat

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Adegium “Semua akan NU pada waktunya” mungkin sudah sering kita dengar di berbagai kesempatan, terutama menjelang momen-momen politik besar seperti pemilu. Bukan tanpa alasan ungkapan ini menjadi populer. Sebab, ada kenyataan bahwa banyak pihak tiba-tiba menampilkan identitas ke-NU-annya atau berupaya mendekati organisasi Nahdlatul Ulama (NU) ketika suara rakyat menjadi rebutan. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah menjadi bagian dari NU sebatas strategi politis, atau seharusnya berakar dari kepercayaan tulus pada nilai-nilai dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh NU?

Menjadi NU: Lebih dari Sekadar Label

Menjadi bagian dari NU, atau sekadar mengidentifikasi diri sebagai “NU”, seharusnya bukanlah sekadar pencitraan untuk meraih dukungan elektoral. NU adalah organisasi yang memiliki sejarah panjang dalam mengawal nilai-nilai keislaman di Indonesia, dengan fokus pada moderasi, toleransi, dan pendekatan kultural dalam beragama. Oleh karena itu, ke-NU-an seseorang semestinya tidak hanya ditampilkan pada masa-masa tertentu, apalagi hanya demi mengais suara dalam pemilu.

Jika pendekatan ke-NU-an didasarkan pada desain yang matang dan perencanaan yang jelas, maka hal itu bisa menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Kepercayaan pada kredibilitas NU sebagai sebuah jalan hidup dan organisasi sosial-keagamaan yang genuine akan tumbuh seiring waktu. Proses ini tidak bisa dipaksakan atau sekadar dimanipulasi dengan berbagai macam strategi komunikasi. Ke-NU-an yang demikian akan menghasilkan loyalitas yang ikhlas dan bersifat ideologis, di mana orang-orang benar-benar meyakini dan mengamalkan nilai-nilai yang dipegang NU dalam kehidupan sehari-hari.

Bahaya Ke-NU-an Musiman: Menjadikan NU Alat Tawar-Menawar Kekuasaan

Masalahnya adalah, ketika banyak pihak mendekati NU atau bahkan mengklaim diri sebagai bagian dari NU hanya demi kepentingan sesaat, maka yang terjadi adalah ke-NU-an yang musiman. Pada masa kampanye politik, NU menjadi pusat perhatian. Para calon pejabat, partai politik, bahkan para pebisnis mendadak “menjadi NU” atau mengklaim diri dekat dengan tokoh-tokoh NU untuk mendapatkan dukungan. Namun, setelah pesta demokrasi usai, banyak dari mereka yang kembali menghilang dan seolah melupakan “ke-NU-an” mereka.

Pendekatan yang seperti ini jelas merugikan, tidak hanya bagi NU sebagai organisasi, tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Jika NU dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan, maka NU tidak lagi berdiri sebagai penjaga moral dan etika sosial-keagamaan. Sebaliknya, NU akan terjebak dalam permainan politik praktis yang seringkali jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan yang selama ini dijunjung tinggi.

Selain itu, hal ini juga berpotensi menurunkan kredibilitas NU di mata masyarakat. Ketika NU terlalu mudah dijadikan alat politik, kepercayaan publik terhadap NU bisa memudar. Orang-orang akan melihat bahwa NU tidak lagi fokus pada misinya untuk membimbing umat dan menjadi teladan dalam kehidupan beragama, tetapi lebih pada kepentingan-kepentingan pragmatis. Jika dibiarkan berlarut-larut, maka dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan, baik bagi NU maupun bagi kehidupan sosial-keagamaan di Indonesia.

NU yang Ikhlas dan Ideologis: Kembali pada Nilai Dasar

Kunci dari semua ini adalah bagaimana merancang ke-NU-an yang bersifat ikhlas dan ideologis. Artinya, menjadi NU harus didasari pada keyakinan tulus terhadap nilai-nilai yang diajarkan dan diperjuangkan oleh NU. Sebagai organisasi yang lahir dari akar tradisi keislaman Indonesia, NU harus tetap konsisten dalam mengedepankan ajaran yang moderat, berimbang, dan toleran. Tidak ada ruang bagi politisasi nilai-nilai agama yang hanya bertujuan untuk memenangkan kekuasaan.

NU harus terus berupaya membina dan memperkuat kaderisasi di tingkat akar rumput, bukan hanya di lingkaran elite. Ke-NU-an yang tulus dan ideologis hanya dapat terwujud jika anggota-anggota NU, dari level paling bawah hingga tertinggi, benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran yang diwariskan oleh para pendiri organisasi ini. Dengan demikian, NU akan tetap kokoh sebagai penjaga moral bangsa, bukan hanya saat ada pesta demokrasi, tetapi dalam setiap aspek kehidupan sosial dan keagamaan.

Semua Akan NU pada Waktunya,” tapi Bagaimana?

Jadi, adegium “Semua akan NU pada waktunya” sebenarnya memiliki dua sisi. Di satu sisi, ada harapan bahwa semakin banyak orang akan memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang diusung oleh NU. Tapi di sisi lain, kita juga harus waspada terhadap mereka yang hanya menjadikan NU sebagai kendaraan politik sementara. Tantangannya adalah memastikan bahwa ke-NU-an tidak menjadi alat politik yang bersifat musiman, tetapi menjadi komitmen jangka panjang yang didasarkan pada keyakinan ideologis.

NU bukanlah panggung politik, melainkan rumah besar bagi jutaan umat Islam Indonesia yang ingin hidup dalam damai, rukun, dan beragama dengan penuh ketulusan. Jika semua orang yang “akan NU pada waktunya” melakukannya dengan kesadaran penuh dan niat ikhlas, maka NU akan terus tumbuh dan berkembang sebagai organisasi yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Ke-NU-an yang sejati adalah ketika orang-orang mendekat karena cinta dan keyakinan, bukan karena kepentingan sesaat.

Penulis: Zaenuddin Endy – IKA PMII Sulsel

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *