HARIANSULSEL.COM, Makassar – Mengalami ber-NU bukan hanya sekadar mengenal atau mengidentifikasi diri dengan Nahdlatul Ulama (NU). Lebih dari itu, ia adalah sebuah perjalanan yang melibatkan proses pemahaman, perenungan, dan pengamalan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh organisasi ini. NU bukan sekadar label atau status yang ditempelkan pada diri seseorang, melainkan suatu cara hidup yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan intelektual dalam kerangka ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ber-NU sebagai Pengalaman Hidup yang Utuh
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan “mengalami ber-NU,” kita harus terlebih dahulu memandang NU tidak hanya sebagai sebuah organisasi, tetapi sebagai wadah penghayatan nilai-nilai keagamaan yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang benar-benar ber-NU, nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kebersamaan tidak hanya dipahami secara teoritis, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Pengalaman ber-NU adalah saat seseorang tidak hanya belajar dari buku-buku tentang NU, tetapi juga turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang mencerminkan semangat kebersamaan dan keadilan sosial.
Bagi seorang santri atau anggota masyarakat yang aktif di lingkungan NU, ber-NU bukan sekadar ikut mengaji atau berpartisipasi dalam peringatan Maulid Nabi, tetapi juga terlibat dalam berbagai aksi sosial, seperti pengembangan ekonomi umat, advokasi kebijakan publik, hingga upaya merawat tradisi keislaman yang ramah budaya lokal. Mengalami ber-NU berarti menjadikan ajaran-ajaran itu sebagai bagian integral dari cara hidup, bukan hanya untuk ditampilkan dalam momen-momen tertentu.
Menghindari Ke-NU-an Musiman
Sering kali, kita melihat fenomena “ke-NU-an musiman,” di mana seseorang tiba-tiba mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari NU hanya ketika ada kepentingan politik atau momen tertentu yang sedang marak. Hal ini mencerminkan pendekatan yang dangkal terhadap apa yang seharusnya menjadi pengalaman hidup yang utuh. Mengalami ber-NU tidak bisa diukur dari seberapa sering seseorang menyebut dirinya NU atau seberapa dekat dirinya dengan para tokoh NU. Pengalaman ber-NU yang sebenarnya jauh lebih dalam daripada sekadar simbol atau label; ia adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen dan kesungguhan.
Jika ber-NU hanya dipandang sebagai alat politik atau sarana untuk meningkatkan popularitas, maka substansi dari ajaran-ajaran NU akan tergerus oleh kepentingan sesaat. Ke-NU-an musiman ini dapat merusak citra organisasi, di mana NU hanya dilihat sebagai alat tawar-menawar kekuasaan. Pada akhirnya, ini dapat menimbulkan kepercayaan yang rapuh dari masyarakat terhadap organisasi yang seharusnya menjadi pelopor dalam menjaga nilai-nilai keagamaan yang moderat dan ramah.
Merawat Nilai-Nilai NU dalam Kehidupan Sehari-Hari
Mengalami ber-NU berarti secara aktif merawat dan memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi inti ajaran NU dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup pendekatan yang inklusif dan toleran dalam beragama, serta upaya aktif untuk menjaga keharmonisan sosial. Nilai-nilai tersebut harus tercermin dalam sikap yang rendah hati, kebiasaan bermusyawarah, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan.
Sebagai organisasi yang berakar kuat pada tradisi keilmuan pesantren, NU mengajarkan pentingnya menghargai pendapat yang berbeda serta bersikap moderat dalam menyikapi perbedaan. Dalam konteks ini, mengalami ber-NU tidak sekadar berarti menerima ajaran-ajaran NU sebagai dogma, melainkan juga memahami alasan di balik ajaran tersebut dan menerapkannya dalam konteks yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Mengalami Ber-NU sebagai Jalan Hidup
Bagi banyak orang, ber-NU adalah lebih dari sekadar mengikuti tradisi; ia merupakan sebuah jalan hidup yang dipilih dan dijalani dengan penuh kesadaran. Jalan hidup ini melibatkan perjalanan panjang dalam mencari makna, mengasah ketulusan, dan menanamkan komitmen untuk berbuat kebaikan. Pengalaman ber-NU juga mencakup keberanian untuk mempertahankan nilai-nilai yang diyakini benar, meskipun dalam situasi yang sulit atau ketika ada tekanan dari berbagai pihak.
Mengalami ber-NU bukan berarti kita terkungkung dalam tradisi masa lalu, tetapi juga terbuka terhadap perkembangan zaman. NU sendiri telah menunjukkan sikap yang adaptif terhadap berbagai perubahan sosial dan budaya tanpa kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu, bagi mereka yang sungguh-sungguh mengalami ber-NU, akan selalu ada ruang untuk berdialog dengan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan.
Penutup: Mengalami Ber-NU, Bukan Hanya Menjadi NU
Mengalami ber-NU adalah tentang bagaimana seseorang menginternalisasi dan mengamalkan nilai-nilai NU secara nyata dan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Ke-NU-an yang sejati tidak diukur dari seberapa sering seseorang mengidentifikasi diri dengan NU, tetapi dari seberapa dalam ia mampu menghidupkan ajaran-ajaran NU dalam setiap tindakan. Ketika seseorang mengalami ber-NU, ia tidak hanya menjadi bagian dari sebuah organisasi, tetapi juga menyatu dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh organisasi tersebut.
Dengan demikian, NU tidak hanya hadir sebagai label atau identitas yang dipamerkan pada saat-saat tertentu, tetapi menjadi laku hidup yang mencerminkan komitmen, keikhlasan, dan dedikasi terhadap nilai-nilai keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Mengalami ber-NU berarti menghayati NU sebagai sebuah perjalanan spiritual dan sosial yang terus berkembang, serta sebagai sebuah jalan hidup yang tidak sekadar dipilih, tetapi dijalani dengan penuh kesadaran.
Penulis: Zulhas’ari Mustafa – Dosen UIN Alauddin Makassar