HARIANSULSEL.COM, Makassar – Islam adalah agama yang menjadikan ilmu sebagai pilar utama dalam membangun peradaban. Sejak wahyu pertama turun dengan seruan “Iqra’”, umat Islam diarahkan untuk menjadikan ilmu sebagai alat pembebasan dan pencerahan. Sejarah Islam membuktikan bahwa kejayaan umat Islam selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Di masa keemasan Baghdad, Cordoba, hingga Samarkand, para ilmuwan Muslim menjadi rujukan dunia dalam filsafat, kedokteran, matematika, hingga sastra. Kini, estafet itu harus dilanjutkan, dan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi episentrum baru keilmuan Islam dunia.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang sangat kaya. Ribuan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, tantangan terbesar kita bukanlah pada kuantitas lembaga pendidikan, melainkan pada arah dan kualitas produksinya. Kita belum cukup menjadi penghasil teori dan pemikiran yang menjadi referensi dunia. Kita masih sibuk mengulang dan mengkaji ulang apa yang sudah dipikirkan orang lain. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa para pendiri peradaban Islam adalah para pencetus, bukan sekadar pengulang.
Sudah saatnya Indonesia tidak hanya melahirkan guru dan dai, tetapi juga ulama mu’assis—pendiri ilmu, pemikir besar yang melahirkan teori-teori baru yang kontekstual dengan realitas Indonesia dan universal bagi dunia. Kita memerlukan generasi baru yang berpikir seperti Ibnu Khaldun, menulis seperti Al-Ghazali, dan berpolemik seperti Fakhruddin Ar-Razi. Mereka tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga memahami tantangan zamannya dan mampu merumuskan jawaban keilmuan yang orisinal.
Dalam konteks ini, diskursus keilmuan di Indonesia perlu dibarui secara serius. Kurikulum pendidikan Islam harus menantang peserta didik untuk berpikir kritis, inovatif, dan produktif. Santri dan mahasiswa tidak cukup hanya dilatih untuk memahami kitab, tetapi juga diberi ruang untuk mempertanyakan, mengembangkan, dan bahkan merumuskan metodologi baru. Kegiatan akademik harus diarahkan untuk membentuk intelektual Muslim yang mampu berdiri sejajar dengan pemikir dunia.
Indonesia memiliki khazanah lokal yang sangat kaya yang belum banyak digarap secara akademik dan filosofis. Nilai-nilai kearifan lokal seperti Bugis dengan siri’ na pacce, Madura dengan etos kerja dan kehormatannya, atau Jawa dengan filosofi harmoni dan welas asih, semuanya bisa menjadi dasar epistemologi baru dalam ilmu sosial, politik, bahkan filsafat Islam. Inilah saatnya kita menggali tradisi sendiri untuk memperkaya peradaban global, bukan hanya mengutip dari luar.
Keilmuan Islam yang lahir di Indonesia harus memiliki karakter khas: inklusif, moderat, dan berdialog dengan budaya lokal. Dengan pendekatan ini, Islam tidak akan berjarak dengan masyarakat, melainkan menjadi bagian organik dari dinamika sosial dan kultural. Pendekatan ini juga akan memperkuat posisi Islam Indonesia sebagai Islam yang ramah, toleran, dan relevan dengan kehidupan modern.
Pendidikan Islam di Indonesia harus mengambil peran strategis sebagai pusat produksi ilmu. Pesantren tidak boleh hanya menjadi benteng moral, tapi juga menjadi laboratorium pemikiran. Perguruan tinggi Islam harus menjadi ruang eksperimen intelektual, tempat lahirnya teori-teori baru yang menyatukan tradisi dan modernitas. Dan ini hanya mungkin jika ada keberanian untuk mendekonstruksi, mereformulasi, dan membangun kembali paradigma keilmuan yang selama ini stagnan.
Kita tidak kekurangan tokoh. Kita punya cendekiawan-cendekiawan besar dari masa lalu seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Gus Dur, dan Nurcholish Madjid. Tapi kita perlu lebih banyak lagi. Kita butuh gelombang baru intelektual Muslim Indonesia yang mampu menembus batas nasional dan berkontribusi pada pemikiran Islam global. Ini hanya bisa dicapai jika negara, masyarakat, dan lembaga pendidikan bersinergi membangun ekosistem keilmuan yang sehat dan produktif.
Islam tidak mungkin berjaya tanpa ilmu. Dan Indonesia tidak akan bermartabat jika hanya menjadi penonton dalam kancah keilmuan global. Kita harus berani menjadi penggagas, bukan pengikut; penentu arah, bukan hanya pengikut arus. Untuk itu, diperlukan keberanian politik, komitmen budaya, dan visi keilmuan yang jauh ke depan. Pendidikan Islam Indonesia harus disiapkan untuk menghasilkan pemikir, bukan hanya praktisi.
Diskursus tentang masa depan Islam dan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tantangan global seperti sekularisasi, radikalisme, dan krisis identitas. Dalam konteks ini, kontribusi ilmuwan Muslim Indonesia sangat penting. Kita harus mampu menawarkan paradigma Islam yang menyejukkan dan mencerdaskan, serta mampu berdialog dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya.
Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, baik yang berbasis pesantren maupun universitas, harus memperluas orientasi akademiknya. Tidak cukup hanya fokus pada studi fiqh atau tafsir, tetapi juga harus aktif dalam bidang sains sosial, humaniora, dan teknologi dengan pendekatan Islam yang khas. Interdisiplin adalah kunci, karena dunia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat disipliner.
Saat dunia mencari alternatif peradaban yang berkeadilan, ramah lingkungan, dan berakar pada spiritualitas, Islam Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai jawaban. Dengan warisan budaya yang harmonis dan tradisi intelektual yang kuat, kita bisa menawarkan model keislaman yang membumi dan mencerahkan. Namun, ini hanya mungkin jika kita serius membangun basis keilmuan yang mandiri.
Indonesia bisa menjadi pusat peradaban Islam dunia jika kita mau berinvestasi dalam ilmu. Investasi ini bukan hanya dalam bentuk dana, tetapi juga dalam bentuk visi, keberanian, dan ketekunan. Kita butuh generasi pembaru, bukan pengulang sejarah. Kita butuh semangat ijtihad, bukan taklid.
Masa depan Islam dunia bisa berlabuh di Indonesia, jika kita mampu mengisi ruang kosong keilmuan dengan karya orisinal, pemikiran mendalam, dan kontribusi nyata. Sudah saatnya kita berhenti sekadar membanggakan jumlah Muslim terbanyak, dan mulai menunjukkan bahwa Indonesia adalah tempat kelahiran pemikiran Islam yang tercerahkan.
Penulis: Zaenuddin Endy – Ketua DPP Ikatan Alumni Pesantren Modern (IKAPM) Aljunaidiyah Bone