Paradigma Baru dalam Pendidikan Islam: Integrasi Ilmu, Nilai, dan Konteks Sosial

HARIANSULSEL.COM, Makasssr – Pendidikan Islam di era kontemporer dituntut untuk bergerak dari pendekatan normatif-konservatif menuju pendekatan transformatif dan integratif. Paradigma baru ini tidak sekadar mengajarkan ajaran Islam sebagai dogma, tetapi membentuk pemahaman dan keterampilan yang mampu menjawab kebutuhan zaman. Pendidikan Islam ditantang untuk mengintegrasikan dimensi spiritual, intelektual, sosial, dan kultural secara harmonis.

Paradigma integratif menempatkan ilmu agama dan ilmu umum dalam posisi setara dan saling melengkapi. Konsep ini merefleksikan semangat Islam sebagai agama yang mendorong umatnya untuk mencari ilmu tanpa sekat disipliner. Dalam kerangka ini, pendidikan Islam harus membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu modern, tanpa kehilangan identitas dan substansi keislaman.

Kesadaran akan pentingnya integrasi ilmu ini telah mendorong sejumlah lembaga pendidikan Islam untuk merombak pendekatan kurikulum mereka. Sejumlah universitas Islam negeri dan swasta mulai menerapkan pendekatan interdisipliner dan transdisipliner dalam pembelajaran. Mata kuliah keagamaan dikaitkan dengan isu-isu kontemporer seperti ekologi, gender, HAM, dan teknologi.

Dalam paradigma baru, pendidikan Islam tidak cukup hanya mengandalkan hafalan teks, tetapi juga menekankan pada pemahaman kontekstual dan kritis. Peserta didik diajak untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis dalam kerangka zaman dan ruang hidup mereka. Ini penting untuk mencegah eksklusivisme dan radikalisme dalam beragama yang kerap lahir dari pemahaman tekstual dan sempit.

Aspek penting lainnya adalah penguatan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini perlu menjadi landasan moral dalam seluruh proses pendidikan, dari perencanaan kurikulum hingga evaluasi pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan Islam menjadi sarana pembentukan karakter yang berakar kuat namun tetap progresif.

Konsep Islamic worldview (pandangan dunia Islam) yang diusung oleh sejumlah pemikir Muslim kontemporer menjadi fondasi filosofis dari paradigma baru ini. Konsep ini menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia, dan menempatkan seluruh ilmu pengetahuan sebagai bagian dari misi tauhid. Oleh karena itu, seluruh proses pendidikan Islam harus diarahkan untuk mewujudkan maqashid syariah (tujuan syariat) dalam kehidupan nyata.

Implementasi paradigma baru ini menuntut inovasi dalam metodologi pembelajaran. Metode ceramah tradisional perlu dilengkapi bahkan digantikan dengan pendekatan partisipatif, berbasis masalah (problem-based learning), berbasis proyek (project-based learning), dan berbasis teknologi digital. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, tetapi fasilitator dan mitra belajar bagi peserta didik.

Konteks sosial dan budaya lokal juga harus menjadi bagian integral dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan kearifan adat dapat diintegrasikan dalam pembelajaran untuk memperkuat identitas kebangsaan dan kesadaran multikultural. Pendidikan Islam harus menjadi jembatan antara teks dan realitas sosial, antara norma agama dan kearifan lokal.

Pendidikan Islam juga dituntut untuk peka terhadap dinamika global. Isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan global, migrasi, dan teknologi informasi harus menjadi bagian dari wacana pembelajaran. Keterlibatan pendidikan Islam dalam isu-isu global akan membentuk generasi Muslim yang mampu berkontribusi dalam peradaban dunia tanpa kehilangan identitasnya.

Kebijakan pendidikan juga perlu mengadopsi paradigma baru ini. Regulasi, kurikulum nasional, dan sistem akreditasi harus memberikan ruang bagi inovasi dan kontekstualisasi dalam pendidikan Islam. Negara harus berperan sebagai mitra dalam transformasi pendidikan, bukan sekadar pengendali birokratis yang kaku.

Paradigma baru ini hanya akan berhasil jika didukung oleh SDM pendidikan yang visioner, reflektif, dan transformatif. Pendidik dan pemimpin lembaga pendidikan Islam perlu dibekali dengan kompetensi intelektual, spiritual, sosial, dan teknologi yang memadai. Pendidikan guru harus direformasi agar mampu menghasilkan pendidik yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Pada akhirnya, arah baru diskursus pendidikan Islam tidak semata-mata bersifat akademik, tetapi menyangkut keberlangsungan peradaban Islam itu sendiri. Dengan membangun paradigma baru yang integratif, inklusif, dan kontekstual, pendidikan Islam di Indonesia akan mampu menjadi lokomotif perubahan sosial yang berkeadaban, berkeadilan, dan berkeimanan.

Penulis: Zaenuddin Endy – Founder Komunitas Pendidikan IsIam Nusantara (KOPINU)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *