HARIANSULSEL.COM, Makassar – Anreguru Semma Daeng Marola adalah seorang pemimpin besar yang berasal dari Ponre, salah satu wilayah yang pernah menjadi kerajaan kecil sebelum akhirnya melebur dalam Kerajaan Bone. Sebagai seorang Arung Ponre, ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, berani, dan memiliki loyalitas tinggi terhadap tanah kelahirannya. Namun, tanggung jawabnya terhadap Bone jauh lebih besar daripada sekadar mengurus daerahnya sendiri. Ketika peperangan melawan Belanda pecah pada tahun 1905, ia memutuskan untuk meninggalkan Ponre demi berjuang bersama rakyat Bone. Sebelum keberangkatannya, ia menyerahkan kepemimpinan Ponre kepada seseorang bernama Abdullah agar daerah tersebut tetap memiliki pemimpin yang dapat menjaga ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
Selain sebagai pemimpin dan pejuang, Anreguru Semma juga dikenal sebagai seorang pendidik dan pembina yang menggembleng anak-anak raja dan bangsawan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin atau raja di masa depan. Ia dipercaya untuk mendidik cikal bakal pemimpin Bone, menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, serta strategi dalam menghadapi tantangan. Sosoknya yang tegas, disiplin, dan berwibawa membuatnya dihormati oleh para bangsawan, dan ilmu yang diturunkannya menjadi bekal bagi generasi penerus dalam menjalankan roda pemerintahan.
Perjuangan Anreguru Semma dalam Perang Bone bukan hanya sekadar bagian dari sejarah, tetapi juga kisah keberanian yang melegenda. Konon, dalam pertempuran melawan pasukan Belanda, ia hanya memiliki tiga butir peluru. Namun, setiap kali ia menembakkan senjatanya dan peluru itu mengenai sasaran, peluru tersebut kembali ke tempatnya seolah tak pernah habis. Kisah ini menjadi simbol keajaiban perjuangan seorang putra Bone yang bertekad untuk tidak menyerah meski dalam kondisi yang sangat sulit.
Pada tahun 1905, Bone mengalami salah satu perlawanan terbesar terhadap kolonialisme Belanda, yang kemudian dikenal dengan nama Rumpa’na Bone. Istilah ini berasal dari pernyataan Raja Bone ke-31, Lapawawoi Karaeng Sigeri, ketika menyaksikan putranya sendiri, Petta Ponggawae, gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Dalam kepedihannya, ia berujar dalam bahasa Bugis, “Rumpa’ni Bone”, yang berarti “Bone telah bobol”. Ungkapan ini mencerminkan kehancuran benteng pertahanan Bone setelah gugurnya Panglima Perang Petta Ponggawae.
Lapawawoi Karaeng Sigeri dan putranya, Baso Pagilingi Petta Ponggawae, memimpin pasukan Bone dengan penuh keberanian. Mereka tidak gentar menghadapi tentara Belanda yang mendarat secara besar-besaran di pantai timur Kerajaan Bone, mulai dari Pallette, BajoE, hingga Ujung Pattiro. Meskipun kalah dalam hal jumlah dan persenjataan, rakyat Bone tetap berani melakukan perlawanan yang sengit. Salah satu tokoh yang turut serta dalam pertempuran ini adalah La Semma Daeng Marola, yang dikenal dengan nama Anreguru Semma.
Anreguru Semma berasal dari Watapponre, sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Ponre. Pada masa lalu, sebelum Kerajaan Bone berdiri, Ponre merupakan kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung, seperti kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang akhirnya bergabung dengan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3, Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letak Ponre berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang strategis di antara wilayah Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina, dan Barebbo.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli–November 1905), Anreguru Semma setia mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri dan Petta Ponggawae dalam peperangan. Mereka menggunakan taktik gerilya dengan berpindah-pindah medan tempur, mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, hingga Citta di daerah Soppeng. Puncak pertempuran terjadi di Bulu Awo, perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Dalam perang yang berkecamuk, para pemimpin laskar Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo, Daeng Massere Dulung Ajangale, serta Arung Sigeri gugur satu per satu. Laskar Bone yang tersisa semakin terdesak oleh pasukan Belanda yang memiliki persenjataan lebih unggul. Namun, Anreguru Semma tetap bertahan di medan tempur. Ia menjadi sosok yang disegani karena keberaniannya yang luar biasa.
Ketika Belanda menggempur pasukan Bone di Cellu, pertempuran semakin sengit. Laskar Bone yang hanya bersenjatakan tombak, parang, dan badik harus menghadapi meriam-meriam besar milik Belanda. Namun, mereka tidak gentar. Bahkan, keberanian para pejuang Bone membuat tentara Belanda gentar. Anreguru Semma menjadi simbol kegigihan, terutama dengan kisah tiga pelurunya yang selalu kembali setelah ditembakkan.
Dalam kondisi genting, Petta Ponggawae memutuskan untuk mengirim pesan ke istana agar Lapawawoi Karaeng Sigeri segera meninggalkan istana dan menyelamatkan diri ke Palakka. Saat Anreguru Semma tiba di istana, sang raja meminta pertimbangannya. Dengan penuh kebijaksanaan, Anreguru Semma meyakinkan raja bahwa mundur bukanlah bentuk kekalahan, tetapi strategi untuk kembali bangkit di masa depan.
Akhirnya, Lapawawoi Karaeng Sigeri beserta keluarga dan pasukan yang tersisa bergerak menuju Palakka, lalu ke Pasempe, Lamuru, dan Citta. Namun, Belanda terus mengejar hingga akhirnya mereka bertemu di Bulu Awo. Pada tanggal 18 November 1905, pertempuran terakhir terjadi. Dalam pertempuran ini, Baso Pagilingi Petta Ponggawae gugur setelah terkena tembakan Belanda. Melihat putranya tewas, Lapawawoi Karaeng Sigeri sadar bahwa Bone sudah tidak memiliki kekuatan bertahan, sehingga ia memutuskan untuk menyerah.
Setelah kekalahan tersebut, Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap dan diasingkan ke Bandung, kemudian Jakarta. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1911 dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1976.
Sementara itu, Anreguru Semma tidak kembali ke Ponre setelah perang berakhir. Ia memilih menetap di Bajoe, tempat di mana ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia dikenal sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ri Bajoe, seorang pahlawan yang mengorbankan segalanya demi kejayaan Bone.
Untuk mengenang jasa-jasanya, keluarga keturunan Anreguru Semma memberikan penghormatan dengan menyematkan nama Semma kepada cucunya yang lahir pada generasi kelima. Nama ini menjadi panggilan khusus dalam lingkungan keluarga dan kampung halamannya, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan keberanian dan pengorbanannya.
Kisah Anreguru Semma Daeng Marola akan selalu dikenang sebagai salah satu bab penting dalam sejarah perjuangan rakyat Bone. Ia bukan hanya seorang pemimpin dan pejuang, tetapi juga seorang pendidik dan pembina para calon pemimpin. Semangat perjuangan dan kebijaksanaannya akan tetap hidup dalam setiap generasi anak cucu Bone.