Opini: Kritik Cermin Diri

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Ada satu fenomena unik yang sering kita temui: mereka yang paling lantang mengkritik justru enggan dikritik. Lidah mereka tajam menguliti kesalahan orang lain, tapi saat giliran mereka yang dikoreksi, mendadak telinga jadi tuli dan hati jadi rapuh. Seolah-olah kritik hanya boleh mengalir satu arah—dari mereka ke orang lain, bukan sebaliknya.

Padahal, kritik bukanlah luka. Ia bukan hujaman yang dibuat untuk merobohkan, melainkan hembusan angin yang meniupkan kesadaran. Seperti cermin yang jujur, kritik memperlihatkan apa yang mungkin tak kita sadari. Kadang refleksi itu menyenangkan, kadang menyakitkan, tapi ia tetap nyata dan berguna.

Ironinya, mereka yang mengaku sebagai “pemberi kebenaran” sering kali lupa bahwa mereka juga manusia. Sebagai manusia, mereka tak luput dari salah dan cacat. Namun, alih-alih menerima kritik sebagai masukan berharga, mereka memilih tersinggung, marah, atau bahkan membalas dengan kemarahan yang lebih besar.

Bukankah ini aneh? Jika kritik adalah jalan menuju perbaikan, mengapa pengkritik tak mau melaluinya? Jika mereka percaya bahwa kritik bisa membangun, mengapa mereka membangun tembok tinggi saat kritik diarahkan pada mereka? Logika ini berputar seperti lingkaran tanpa ujung.

Menariknya, ada banyak alasan yang dijadikan pembenaran. Ada yang berdalih bahwa mereka hanya ingin “mengoreksi demi kebaikan,” seolah kritik mereka selalu berlandaskan niat suci. Ada juga yang merasa bahwa kedudukan mereka lebih tinggi, sehingga mereka lebih berhak mengkritik daripada dikritik. Namun, bukankah ini hanya bentuk lain dari ego yang menyamar sebagai kebijaksanaan?

Sejatinya, kritik yang jujur bukanlah musuh. Ia adalah cermin bagi diri sendiri dan orang lain. Jika kita bisa membagikannya, seharusnya kita juga bisa menerimanya. Dunia tak pernah kekurangan orang yang pintar berbicara, tetapi ia selalu kekurangan orang yang rendah hati dalam mendengar.

Tak perlu takut atau marah ketika kritik datang. Jika benar, ambillah sebagai pelajaran. Jika salah, abaikan tanpa kebencian. Bukankah lebih baik tumbuh daripada terjebak dalam kepongahan? Toh, langit tak pernah runtuh hanya karena seseorang mengkritik kita.

Orang yang bijak akan memahami bahwa kritik adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan. Mereka yang besar bukanlah mereka yang paling jarang dikritik, melainkan mereka yang paling sering belajar dari kritik. Seperti pohon yang kuat karena diterpa angin, kita pun bisa menjadi lebih baik jika berani menghadapi kritik dengan kepala dingin.

Sebaliknya, mereka yang selalu mengkritik tapi tak ingin dikritik hanya sedang menipu diri sendiri. Mereka mungkin merasa kuat, tapi sejatinya rapuh. Sebab, kehebatan sejati bukan diukur dari seberapa tajam kita mengoreksi orang lain, melainkan seberapa luas kita membuka hati untuk dikoreksi.

Maka, sebelum sibuk mencari kesalahan orang lain, ada baiknya bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku siap menerima kritik seperti aku memberikannya? Atau jangan-jangan aku hanya ingin menjadi hakim tanpa mau diadili? Jika jawabannya yang kedua, mungkin saatnya bercermin lebih lama.

Kritik itu seperti makanan pedas. Ia bisa membakar lidah, tapi juga bisa membuat kita lebih kuat. Namun, kalau cuma bisa memberi tanpa mau mencicipi sendiri, bisa jadi kita bukan kritikus, melainkan hanya sekadar tukang sambal yang tak tahan pedas. Wallahu A’lam Bissawab

Penulis: Zaenuddin Endy – Direktur Pangadereng Institut (PADI)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *