HARIANSULSEL.COM, Makassar – Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan pernyataan yang tidak pantas terhadap Assyekh al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua (15 Maret 1892 – 22 Desember 1969). Pernyataan tersebut diucapkan oleh seseorang yang mengaku “Gus” dan memicu reaksi luas di kalangan masyarakat, khususnya para santri dan alumni Al-Khairaat, serta mereka yang memiliki keterkaitan spiritual dan intelektual dengan ajaran Guru Tua.
Ucapan yang beredar di media sosial ini tidak hanya melukai perasaan para murid dan pencinta Guru Tua, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dan kebudayaan Indonesia yang menjunjung tinggi adab, terutama terhadap ulama yang telah berjasa dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang Muslim, seyogianya kita menjaga lisan dan menghormati para ulama yang telah berperan besar dalam mencerdaskan bangsa.
Guru Tua adalah sosok yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia melalui Al-Khairaat, yang didirikannya di Palu, Sulawesi Tengah. Pesantren ini bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi juga pusat penyebaran ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keislaman yang inklusif dan moderat. Berbagai penelitian telah mengungkap peran besar Al-Khairaat dalam mencetak generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan berkontribusi bagi bangsa.
Meskipun secara genealogi keilmuan saya bukan lulusan formal Al-Khairaat, saya memiliki banyak sahabat dan senior yang merupakan Abnaul Khairaat (alumni Al-Khairaat). Tidak hanya itu, di Maluku Utara, banyak ulama dan habib yang memiliki hubungan dengan Al-Khairaat, dan dari merekalah kami sering mendengarkan tausiah serta kajian keislaman yang mencerminkan ajaran Guru Tua.
Hubungan spiritual dan keilmuan ini menunjukkan bahwa warisan Guru Tua tidak hanya terbatas pada lembaga Al-Khairaat, tetapi juga meluas ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Maluku Utara, melalui murid-murid dan jaringan ulama yang terus menyebarkan ilmunya.
Saat melakukan riset dalam penyelesaian studi doktoral tentang Tipologi Manajemen Pesantren di Sulawesi Selatan, saya menemukan berbagai informasi awal mengenai hubungan spiritual antara Guru Tua dan Anregurutta KH Abdurrahman Ambo Dalle, pendiri Darud Da’wah wal Irsyad (DDI). Kedua ulama besar ini memiliki peran strategis dalam membangun jaringan pendidikan Islam di Indonesia.
Hubungan antara Guru Tua dan Anregurutta KH Abdurrahman Ambo Dalle bukan sekadar hubungan personal, tetapi juga mencerminkan kesamaan visi dalam membangun pendidikan Islam yang kokoh. Keduanya sama-sama memiliki cita-cita dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam berbasis pesantren yang tetap relevan dengan perkembangan zaman. Sayangnya, informasi mengenai hubungan ini masih memerlukan kajian lebih mendalam agar semakin memperkaya literatur sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam Islam, adab dan akhlak adalah fondasi utama dalam berinteraksi, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa menghormati ulama adalah bagian dari menghormati agama itu sendiri. Oleh karena itu, pernyataan yang tidak pantas terhadap Guru Tua bukan hanya bentuk ketidakhormatan kepada individu, tetapi juga kepada ilmu dan perjuangan yang telah beliau wariskan.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan dan sebagai umat Islam yang diajarkan untuk ta’dzim (menghormati) ulama, kita seharusnya lebih berhati-hati dalam berbicara, terutama di ruang publik seperti media sosial. Perbedaan pandangan tidak seharusnya diekspresikan dengan ujaran yang merendahkan, apalagi terhadap figur yang telah berjasa besar dalam dunia pendidikan dan dakwah.
Kejadian ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di era digital, kesantunan dalam bertutur kata harus tetap dijaga. Media sosial seharusnya menjadi sarana penyebaran ilmu dan kebaikan, bukan tempat untuk mencaci atau merendahkan orang lain, terlebih ulama yang telah berjasa bagi umat.
Lebih dari itu, kejadian ini juga membuka ruang untuk semakin mendalami dan meneliti peran ulama besar seperti Guru Tua dan hubungannya dengan jaringan pendidikan Islam lainnya di Indonesia. Dengan kajian yang lebih mendalam, kita dapat terus menjaga dan mengembangkan warisan keilmuan yang telah mereka bangun demi keberlangsungan pendidikan Islam di Indonesia.
Mari kita jaga adab dalam berbicara dan berinteraksi, karena menghormati ulama berarti menghormati ilmu dan agama itu sendiri.
Penulis: Andy – Dosen IAIN Ternate, Awardee BIB-LPDP Program Doktor UIN Alauddin Makassar