HARIANSULSEL.COM, Makassar – Kesombongan intelektual adalah sikap di mana seseorang merasa dirinya lebih unggul dalam pengetahuan dan keilmuan sehingga cenderung meremehkan pendapat orang lain. Kesombongan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti mengabaikan kritik, menolak perbedaan pendapat, atau merasa tidak perlu lagi belajar dari orang lain. Dalam lingkungan akademik, sikap semacam ini sering kali menjadi penghambat diskusi ilmiah yang sehat, karena pengetahuan sejatinya berkembang melalui dialektika dan perdebatan yang terbuka.
Dalam sebuah pertemuan akademik , seorang dosen filsafat menyampaikan bahwa seorang profesor bebas mengatakan apa saja dan tidak perlu dibantah karena tentu memiliki argumentasi yang kuat. Pernyataan ini diiringi dengan senyuman dan sedikit tawa, seolah-olah itu adalah sesuatu yang lumrah atau bahkan lucu. Namun, di balik candaan itu, pernyataan tersebut mengandung implikasi serius mengenai otoritas akademik dan kemungkinan terjadinya kesombongan intelektual.
Jika seorang profesor menganggap dirinya bebas berbicara tanpa bisa dibantah, maka ini bertentangan dengan prinsip dasar keilmuan yang menuntut setiap gagasan diuji dan dikritisi. Ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi dogma yang hanya bisa diterima tanpa pertanyaan. Bahkan dalam filsafat sekalipun, yang sering kali dianggap sebagai bidang pemikiran yang subjektif, setiap gagasan harus diuji melalui argumentasi yang rasional dan terbuka terhadap kritik.
Dalam Islam, kesombongan adalah salah satu sifat yang sangat dicela. Rasulullah saw bersabda:
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ”
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim)
Kesombongan intelektual termasuk dalam kategori ini, karena merasa diri lebih hebat daripada orang lain dalam hal ilmu juga merupakan bentuk takabur. Sikap ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat merusak budaya akademik yang sehat. Seorang akademisi, terlepas dari gelar dan posisinya, seharusnya tetap rendah hati dan terbuka terhadap kritik, karena kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang terus berkembang.
Sikap seperti ini juga bertentangan dengan konsep dalam Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk selalu mencari ilmu dan tidak merasa cukup dengan apa yang telah diketahui. Allah berfirman:
“وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ”
“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, ada yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang memiliki pengetahuan absolut, termasuk seorang profesor. Oleh karena itu, menutup diri dari kritik dan menolak perdebatan merupakan bentuk keangkuhan intelektual yang berlawanan dengan semangat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam dunia akademik, profesor memang memiliki otoritas dalam bidangnya, tetapi otoritas itu bukanlah sesuatu yang absolut. Justru, semakin tinggi tingkat akademik seseorang, seharusnya semakin rendah hati ia dalam menerima masukan dan mempertimbangkan perspektif lain. Kesombongan intelektual hanya akan membuat seseorang terjebak dalam menara gading pemikirannya sendiri, jauh dari realitas dan perkembangan ilmu yang dinamis.
Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak tokoh besar dalam dunia ilmu pengetahuan justru tumbuh melalui kritik dan perdebatan. Galileo Galilei, misalnya, ditentang oleh banyak akademisi pada masanya karena gagasannya tentang heliosentrisme. Namun, justru karena kritik dan perdebatan itulah ilmu pengetahuan berkembang. Jika setiap profesor menutup diri dari kritik dan merasa tidak perlu dibantah, maka ilmu akan mandek dan tidak berkembang.
Pernyataan bahwa “Profesor bebas mengatakan apa saja dan tidak perlu dibantah” sebenarnya lebih mencerminkan feodalisme akademik daripada tradisi ilmiah yang sehat. Tradisi akademik yang sejati tidak mengenal kebenaran yang absolut berdasarkan jabatan atau gelar seseorang, melainkan berdasarkan kekuatan argumentasi dan bukti. Jika sebuah gagasan benar, maka ia akan bertahan meskipun dikritik; jika salah, maka harus dikoreksi demi kebaikan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam konteks sosial dan pendidikan, kesombongan intelektual juga bisa berdampak buruk. Dosen atau profesor yang merasa superior cenderung meremehkan mahasiswa atau kolega yang memiliki pendapat berbeda. Hal ini dapat menghambat diskusi ilmiah yang konstruktif dan menciptakan suasana belajar yang tidak sehat. Sebaliknya, seorang akademisi yang rendah hati akan membuka ruang dialog yang lebih luas, mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, dan menciptakan lingkungan akademik yang lebih dinamis.
Sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang profesor bukanlah kebebasan berbicara tanpa bisa dibantah, melainkan keterbukaan terhadap diskusi dan kritik. Akademisi sejati bukanlah mereka yang merasa dirinya sudah tahu segalanya, tetapi mereka yang terus belajar dan bersedia memperbaiki pemahaman mereka berdasarkan argumen yang lebih kuat. Dengan begitu, ilmu pengetahuan dapat berkembang secara lebih sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kesombongan intelektual tidak hanya merugikan individu yang memilikinya, tetapi juga komunitas akademik secara keseluruhan. Jika budaya akademik dipenuhi dengan sikap tertutup terhadap kritik, maka kreativitas dan inovasi akan terhambat. Oleh karena itu, setiap akademisi harus selalu mengingat bahwa ilmu adalah amanah yang harus dikembangkan dengan rendah hati, keterbukaan, dan semangat mencari kebenaran. Wallahu A’lam Bissawab
Penulis: Zaenuddin Endy – Ketua DPP RHMH Aljunaidiyah Biru Bone