Belajar dari Syeikh Mutawalli Sya’rawi (Seri-21)

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Siapa yang tidak kenal Syeikh Mutawalli Sya’rawi? Ulama kharismatik dari Mesir (1911-1998). Popularitasnya sangat mendunia pada zamannya. Bahkan sampai sekarang. Ulama yang sangat produktif. Karyanya ratusan. Yang paling terkenal adalah tafsir Asy-Sya’rawi, 20 jilid itu (?)

Luarbiasanya, beliau jarang sekali mencamtukan footnote (catatan kaki) dalam karyanya. Dia menulis dengan hati. Hasil dialoq batin melalui tafakkur. Atau bisa jadi berupa ilham dari Yang Maha Alim karena kesalehannya. Berbeda hari ini, tolak ukur keilmiahan sebuah karya adalah seberapa sering kita mengutip orang lain, terlebih lagi yang berbahasa asing.

Selain mufassir (ahli tafsir) juga dikenal sebagai imam ad-duat (imam para dai) di seluruh dunia. Suaranya sangat khas. Menggelegar dan berwibawa. Fatwa dan nasehatnya memberi solusi yang teduh. Bukan polusi yang membuat gaduh. Menyentuh hati yang menyadarkan. Bukan sekedar hiburan yang melalaikan.

Suatu ketika beliau mendapat undangan tabliq akbar di Saudi Arabia. Panggung megah telah menunggunya. Jamaah penuh, sesak. Menanti kehadiran sang idola.
Setibanya di lokasi, suara takbir menggema. Ia diangkat mulai dari mobil sampai di atas panggung. Kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Bentuk penghormatan mereka kepada ilmu beliau.

Acara selesai. Beliau menuju Jeddah untuk kembali ke Mesir. Hatinya gundah, tidak tenang. Di tengah jalan, ia meminta sopir untuk berhenti sejenak. Tepat depan masjid di pinggir jalan. Mungkin saja ingin salat atau buang air. Demikian pikiran sang sopir.

Namun, setelah lama menunggu. Syeikh Sya’rawi tidak kembali. Sang sopir mulai penasaran. Ia segera turun dan mencari tahu apa yang terjadi. Siapa tahu beliau sedang sakit.
Ternyata tidak. Beliau sedang menyikat (membersihkan) lantai wc dengan keringat bercucuran. Membahasi sekucur tubuhnya. Jubah kebesarannya ditanggalkan. Kecuali celana pendek dan baju dalamnya.

Sang sopir semakin tidak mengerti. Bukankah beliau alim ulama terhormat dan dihormati? Batinnya bertanya penuh keheranan.

“Saya sangat takut murka Allah. Pengkultusan orang membuat hatiku lalai. Padahal, saya tidak lebih mulia dari tempat (wc) yang saya sikat ini.”, terang Syeikh Sya’rawi kepada sang sopir.

Sungguh menggugah. Syeikh Sya’rawi sedang mengajarkan kita tentang ketawaduan. Tentang hakekat orang berilmu. Semakin mendalam semakin merendah. Semakin mengenal keterbatasan (faqir) dirinya di hadapan Allah. Tidak ada yang perlu disombongkan atau dibanggakan.

Mungkin itulah yang dimaksud Syeikh Al-Palembani “Seorang Alim lebih mulia di sisi Allah dari pada seribu syahid”.

Yaitu alim yang senantiasa takut kepada Allah dalam tiap gerak dan diamnya. Tidak sibuk di dunia kecuali ibadah kepada-Nya. Senantiasa optimis (raja) dengan Ampunan-Nya. Lisanya memuji anurgrah-Nya. Kedua mata terus menangis malu di hadapan kebesaran-Nya. Lebih senang duduk bersama orang fakir miskin daripada pejabat dan penguasa. Tegas syeikh Al-Palembani.

Apakah alim yang dimaksud di atas hanyalah mereka yang mengerti Alquran dan hadis? Tidak sama sekali. Kuncinya adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang membuat seseorang samakin takut kepada Allah.

Betapa banyak ilmuan beriman setelah menemukan kekuasaan Allah di balik risetnya. Di antanya, kata om google, Maurice Bucaille (ahli bedah), Jacques Yves Costteau (ahli selam), Fidelma O’leary (Ahli Neurologi) dan Prof William.

Sebaliknya, tidak sedikit yang alim tapi semakin jauh dari Allah karena kelalaianya. Di antaranya Ibnu Muljam. Pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seorang faqih, hafiz dan ahli ibadah. Tapi lalai karena tipu daya dunia yang sementara.

Maka benarlah sabda Nabi Saw. (?) “Siapa yang bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayah (keimananya), tidaklah bertambah kecuali semakin jauh dari Allah”.

Wallahu A’alam bishsahwab

Penulis: Darlis Dawing – Dosen IAIN Palu

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *