Mutiara itu Mahal (Seri-23)

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Mutiara itu mahal. Langka. Tidak banyak di pasaran. Untuk mendapatkannya butuh kerja keras. Pengorbanan yang tinggi. Mutiara yang paling berkualitas ada di dasar laut. Keaslianya tidak diragukan. Memancarkan cahaya dan warna yang sangat indah. Orang yang memakainya ikut menjadi indah. Semua mata tertuju ke padanya. Lalu, mendambakannya.

Dan tahu kah kita, bahwa ada yang lebih mahal dari mutiara tersebut. Adalah kecerdasan orang berilmu. Anugrah yang sangat mahal dari Allah. Lebih mahal daripada mutiara yang ada di dasar laut. Untuk mendapatkannya juga tidak mudah. Butuh waktu. Materi. Kesabaran. Kemauan. Kecerdasan. Dan bimbingan guru. Demikian, kata Imam Syafi’i.

Namun, orang yang mendapat mutiara itu, akan ditinggikan derajatnya (QS. Al-Mujadalah: 11). Demikian janji Allah.

Jika mutiara di dasar laut, harus dijaga. Mutiara ilmu justru menjaga tuannya. Jika mutiara di dasar laut hilang karena pencuri. Mutiara ilmu justru semakin bertambah jika diajarkan. Jika mutiara di dasar laut memperlambat hisab di akherat, mutiara ilmu justru menjadi syafaat.

Maka cukuplah mutiara ilmu bagi orang beriman sebagai bekal hidup. Dunia dan akherat. Karena Allah telah memuliakanya. Allah tidak akan menelantarkannya. Tidurnya pun dinilai ibadah di sisi-Nya.

Orang yang memiliki mutiara ilmu, sejatinya tidak lagi sibuk dengan mutiara-mutiara yang lain. Karena semuanya akan ikut tanpa harus dikejar. Sebagaimana Nabi Sulaiman memilikinya. Dengan ilmu, ia mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Kekayaanya tidak terhitung. Kekuasannya tidak tertandingi. Tapi ia semakin dekat kepada Allah. Kalaupun tidak mendapatkan seperti Nabi Sulaiman, yakinlah bahwa ilmu sudah cukup baginya.

Maka, orang berilmu tidak boleh menghinakan dirinya dengan (tamak) mengejar kekuasaan dan kekayaan. Menghalalkan segala cara. Karena dengan mengejar keduanya, mutiara ilmu akan terhijab. Pandangan orang hanya akan terkesima dengan hijab itu. Cahaya ilmu justru tertutup. Semakin banyak hijab yang melekat dalam badan seseorang, maka semakin redup cahaya mutiara tersebut. Akhirnya, padam. Gelap gulita.

Tentu, ini tidak berarti kita harus membenci kekuasaan. Tidak juga berarti kita harus hidup melarat. Menjadi beban orang lain. Tidak sama sekali. Karena dalam banyak riwayat, orang yang pertama kali mendapatkan naungan di akhirat nanti adalah pemimpin yang adil. Agama ini berkembang pesat di awal Islam sampai hari ini tidak lepas dari peran orang kaya. Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar adalah di antara sahabat yang hartawan. Abu Hanifah juga dikenal sebagai kaya raya. Tapi mereka semua dikenal hartawan yang dermawan. Terus mendermakan kepada orang lain.

Mereka mengelola harta bukan membanggakannya. Mereka menguasai dan mengaturnya, tidak sebaliknya. Mereka hanya meletakkan harta itu pada tangannya saja. Tidak sampai merasuk dalam hati.

Harta yang tersimpan di tangan, membuat pemiliknya bisa hidup sederhana, bersahaja dan terus mendermakan. Sementara harta yang tersimpan dalam hati itulah yang memabukkan. Membuat orang lalai. Kehilangan akal sehat. Halal haram tidak tidak dipedulikan. Hanya memikirkan kepentingan dirinya. Memikirkan bagaiman cara mengumpulkan sebanyak-banyaknya (QS.At-Takasur: 1; Al-Humazah: 1-9). Akhirnya, hatinya membantu. Tidak memiliki kepekaan sosial.

Maka tak salah, nasehat Syeikh Al-Palembani dijadikan renungan, untuk tetap menjaga mutiara itu agar terus bersinar. Terlebih khusus lagi, di masa pandemi Covid-19 ini.

“Ketahuilah wahai orang saleh, sesungguhnya orang cerdas (akil) itu tidak disibukkan oleh syahwat (harta dan kekuasan), karena syahwat itu membuat lupa dan menutup akal sehat. Jangan sibuk dengan menumpuk harta, karena harta membawa keharaman dan menambah azab. Jangan pula sibuk dengan perbincangan (urusan) dunia, karena ia mendatangkan dosa dan membekukan hati”.

Wallau A’lam bishshaawab!

Penulis: Darlis Dawing – Dosen IAIN Palu

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *