Opini: Covid-19 dan Ramadan yang Berbeda

HARIANSULSEL.COM, Makassar – Ramadan kali ini tentu terasa berbeda dengan Ramadan-Ramadan sebelumnya. Bedanya, umat Islam yang biasanya memenuhi masjid-masjid dan menghabiskan banyak waktu di dalamnya, kali ini semua harus berdiam di rumah. COVID 19 ini memang telah mengubah wajah Ramadhan yang mungkin kita tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rumah menjadi titik epistentrum ibadah kita. Ibadah atau ritual yang biasanya dilakukan di masjid, akan bergeser ke rumah sebagai “masjid” atau tempat sujud sebagaimana tergambar pada refleksi berikut.

Dari “masjid” ke “rumah”

Jika sebelumnya, setiap kali bulan Ramadan, kita menjadi penghuni dan aktifis masjid. Kita selalu berusaha agar shalat fardhu dilakukan di masjid secara berjamaah. Bahkan banyak jamaah yang memanfaatkan untuk tidur siang di masjid, apalagi masjid yang difasilitasi pendingin ruangan (AC). Sepertinya fenomena tersebut tidak terlihat di bulan Ramadan tahun ini. Anjuran untuk berdiam di rumah demi memutus transmisi pandemi COVID 19, telah memaksa kita untuk menjadikan rumah sebagai “masjid” kita. Shalat tarwih yang biasanya dilakukan di masjid-masjid dengan segala keseruannya, kali ini difokuskan di rumah masing-masing. Tidak terdengar lagi suara-suara imam tarwih dari masjid-masjid yang biasanya mewarnai malam malam Ramadan. Apalagi pembacaan pemasukan dan pengeluaran masjid setiap malam Ramadan oleh panitia masjid, dipastikan kita tidak akan mendengarnya. Barangkali saatnya bagi suami ataupun isteri untuk melaporkan pemasukan dan pengeluaran keuangan keluarga masing-masing sebelum shalat tarwih di rumah sendiri, supaya tidak ada kecurigaan dalam keluarga. Merujuk kepada hasil penelitian satu kolega di salah satu kampus bahwa salah satu penyebab keretakan hubungan suami isteri karena tidak ada transparansi dalam keluarga termasuk persoalan keuangan. Dengan momentum Ramadan di tengah COVID 19, pembacaan laporan keuangan keluarga dengan mengadopsi pembacaan kondisi keuangan masjid, setidaknya memperkuat relasi-relasi internal rumah tangga yang sebelumnya sedikit rapuh.

Selain itu, para dai/penceramah yang biasanya sibuk mendakwahi jamaah tarwih dan jamaah subuh di masjid-masjid bahkan terkadang lupa mendakwahi keluarga sendiri, sudah saatnya (back home) kembali mendakwahi keluarga sendiri di rumah masing-masing. Bahkan seharusnya kita semua menjadi dai minimal di lingkungan keluarga sendiri walaupun itu disampaikan hanya satu ayat saja. Bukankah ini menjadi warning kitab suci al-Qur’an bahwa yang paling utama untuk dilindungi adalah diri dan keluarga masing-masing dari api neraka (QS. al-Tahrim:6). Begitupula undangan menghadiri acara buka puasa bersama yang biasanya banyak menghiasi masjid-masjid, hotel-hotel, perkantoran, kampus-kampus, mall-mall, Ramadan kali ini mengajarkan bahwa buka puasa terbaik itu sebenarnya bersama keluarga di rumah masing-masing. Masakan terbaik itu adalah produk keluarga. Tetapi tentu berbeda dengan anak-anak panti asuhan atau kurang mampu, yang biasanya sibuk menghadiri acara buka puasa bersama di ruang ruang publik, tentu ini bukan berita gembira buat mereka.

i’tikaf (berdiam di masjid) yang sedianya dan memang seharusnya dilakukan di masjid-masjid terutama sepuluh terakhir bulan Ramadan, tentu Ramadan kali ini mengubah segalanya. Tidak ada lagi i’tikaf bersama-sama di masjid demi menjaga jarak (physical distancing). Sudah saatnya para ulama kita menfatwakan bahwa i’tikaf itu bisa dilakukan di rumah masing-masing. Dengan merumahkan Ramadan ini, kita tentu diajarkan bahwa peristiwa lailatul qadri yang menjadi tujuan dari i’tikaf pada bulan Ramadan itu tidak mengenal tempat. Rumah pun bisa menjadi destinasi i’tikaf terbaik selama dilakukan dengan keikhlasan dan kekhusyuan serta penuh kepasrahan kepada Allah swt. Bukankah Tuhan telah berpesan pada kitab sucinya bahwa dimana pun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah swt. (QS. al-Baqarah: 115). Tadarus al-Qur’an yang juga seringkali diperdengarkan di masjid-masjid, sudah saatnya untuk dilakukan di rumah masing-masing. Alangkah syahdunya ketika satu lingkungan RT/RW terdengar suara-suara bacaan al-Qur’an dari rumah-rumah. Kesadaran ini idealnya menjadi kesadaran kolektif semua anggota keluarga. Tidak hanya dipraktekkan oleh anak yang kebetulan sekolah agama. Bukankah kita diperintahkan untuk menyinari rumah-rumah kita dengan al-Qur’an sebagaimana tersurat dalam hadis.

Akhirnya anjuran pemerintah untuk “beribadah di rumah” pada bulan suci Ramadan ini tidak hanya menjadi solusi dalam memutus transmisi penyebaran pandemic virus COVID 19 yang entah kapan berakhir, tetapi yang paling penting juga rumah dalam bahasa Inggris disebut sebagai “home” adalah lokus ketenangan. Rumah adalah tempat terbaik dalam merajut kebahagiaan dan kedamaian. Home tidak hanya sekadar fisik sebagaimana makna “house” yang juga berarti rumah. Dalam konteks merumahkan bulan Ramadhan, bahwa kesucian dan kenikmatan ramadhan dapat terpancar dari “home” yang juga bermakna ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Konektifitas dua makna ini, antara “Ramadan dan “home” idealnya menjadi integrasi yang kuat demi penciptaan manusia yang bertaqwa sebagaimana tujuan puasa Ramadan, dan tentu saja tidak melahirkan generasi “broken home”.

Penulis: Muhaemin Latif – Ketua International Office UIN Alauddin Makassar

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *