HARIANSULSEL.COM, Makassar – Tradisi keilmuan Islam di Nusantara memiliki akar yang kuat dalam warisan para ulama terdahulu. Mereka tidak hanya sekadar menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kearifan lokal yang membumi dalam kehidupan masyarakat. Tradisi ini, yang dikenal dengan istilah turats ulama Nusantara, adalah cerminan dari kekayaan intelektual, spiritual, dan budaya bangsa yang harus terus dirawat dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Kata turats berasal dari bahasa Arab yang berarti warisan. Dalam konteks keilmuan Islam, turats merujuk pada karya-karya klasik para ulama yang mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari tafsir, hadits, fiqih, tasawuf, hingga sastra. Di Nusantara, turats ulama memiliki karakteristik unik karena menyatu dengan budaya lokal, seperti penggunaan bahasa Melayu-Jawi, aksara Pegon, dan pengayaan nilai-nilai tradisional yang khas.
Katakanlah karya monumental seperti Sabilal Muhtadin oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kitab Nashihatul Muslimin oleh Syekh Abdul Shamad al-Falimbani, hingga karya-karya Walisongo yang penuh dengan pendekatan dakwah budaya. Turats ini tidak hanya menjadi bukti kejayaan intelektual ulama Nusantara, tetapi juga menjadi bukti betapa harmonisnya Islam dengan tradisi lokal.
Turats ulama Nusantara adalah warisan intelektual yang membentuk identitas keislaman di wilayah ini. Tanpa pemahaman mendalam terhadap turats, kita akan kehilangan akar dan konteks sejarah bagaimana Islam berkembang secara damai di Nusantara.
Dalam turats terdapat panduan hidup yang relevan dengan kondisi masyarakat Nusantara. Ulama masa lalu tidak hanya menjelaskan hukum-hukum syariat, tetapi juga menerjemahkan ajaran tersebut ke dalam konteks budaya lokal, menciptakan harmoni antara agama dan adat.
Di tengah derasnya arus globalisasi, nilai-nilai lokal sering kali tergerus oleh budaya luar. Merawat turats ulama berarti menjaga kekayaan intelektual dan budaya yang menjadi ciri khas bangsa ini, sekaligus sebagai tameng dari homogenisasi budaya yang menghilangkan keberagaman.
Meski lahir berabad-abad lalu, turats memiliki relevansi yang tak lekang oleh zaman. Konsep-konsep seperti ukhuwah Islamiyah, toleransi, dan keadilan sosial dalam karya ulama Nusantara masih sangat relevan untuk menyelesaikan problematika modern.
Banyak manuskrip ulama Nusantara yang masih tersebar di pesantren, masjid tua, dan koleksi pribadi. Proyek digitalisasi manuskrip ini penting untuk memastikan bahwa karya-karya tersebut dapat diakses oleh generasi mendatang tanpa khawatir rusak atau hilang.
Turats perlu dipelajari tidak hanya di kalangan pesantren, tetapi juga dalam lingkungan akademik formal. Selain itu, karya-karya turats perlu disederhanakan dalam bentuk buku, artikel populer, dan konten digital agar dapat dinikmati masyarakat luas.
Seminar, workshop, atau diskusi tentang turats ulama Nusantara dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan dan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap warisan ini.
Pesantren adalah benteng utama turats ulama Nusantara. Dengan memasukkan turats sebagai bagian dari kurikulum, para santri dapat memahami akar keilmuan Islam Nusantara sekaligus menjadi penerus tradisi ini.
Di era digital, penting untuk memanfaatkan media sosial, podcast, dan video untuk mengenalkan turats ulama kepada generasi milenial dan Gen Z. Pembuatan aplikasi atau situs yang menyediakan akses ke kitab-kitab turats juga bisa menjadi langkah inovatif.
Merawat turats ulama Nusantara tentu bukan tanpa tantangan. Salah satu masalah utama adalah minimnya perhatian terhadap keberadaan manuskrip dan kitab klasik. Banyak naskah yang rusak karena usia atau disimpan tanpa perawatan yang memadai. Selain itu, generasi muda sering kali kurang tertarik mempelajari turats karena dianggap kuno atau tidak relevan dengan zaman modern.
Namun, tantangan ini bukan alasan untuk menyerah. Dengan pendekatan yang kreatif dan inovatif, turats ulama Nusantara bisa kembali menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Kuncinya adalah bagaimana menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam turats secara kontekstual dan relevan.
Merawat tradisi turats ulama Nusantara adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai pewaris budaya bangsa. Warisan ini bukan hanya tentang buku-buku tua atau cerita masa lalu, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai luhur dari para ulama dapat terus hidup dan memberi manfaat bagi masyarakat. Dengan menjaga turats, kita tidak hanya menghormati warisan nenek moyang, tetapi juga memastikan bahwa kekayaan intelektual Islam Nusantara tetap relevan dan memberikan inspirasi di masa depan.
Mari hidupkan kembali ruh turats, bukan sekadar untuk mengenang, tetapi untuk menerangi jalan kita menuju kehidupan yang lebih bermakna.